Jakarta – Urusan sadap-menyadap ternyata telah banyak aturan yang mengatur. Setidaknya 9 peraturan membolehkan berbagai instititusi menguping pembicaraan orang. Hanya saja, mekanisme dari 9 peraturan tersebut berbeda-beda dan membuat impilkasi yang tidak sama.
“Kalau sudah begitu, sebaiknya memang digabungkan saja menjadi satu Undang-undang Penyadapan. Kalau diundangkan, peraturannya lebih jelas, lebih tertib dan impilkasinya bisa dikontrol dan dipertanggungjawabkan,” kata Anggara Suwahju, peneliti di Institue for Criminal Justice Reform (ICJR) dalam diskusi soal RUU Intelijen di Taman ISmail MArzuki (TIM), Jl Cikini Raya, Jumat (25/3/2011).
“Mekanisme yang berbeda itu seperti bagaimana menyadap, cara menyadap, legalitas dan bagaimana cara pertanggungjawaban. Tetapi karena jalan sendiri-sendiri, tidak kompak dan rawan merusak privasi orang lain,” imbuh Anggara.
Dengan satu payung Undang-undang, berbagai institusi yang menguping pembicaraan orang dapat dikontrol dan bisa bertanggungjawab. Kontrol tersebut bisa dilakukan melalui izin pengadilan sehingga bila terjadi malpraktik, korban penyadapan bisa menuntut atau merehabilitasi nama
baiknya.
“Izin ke pengadilan ini bukan mempersulit tugas institusi yang mau menyadap, tetapi justru mempermudah karena aspek legalitasnya jelas. Hakim juga jangan kerja model nine to five. Bila mendesak, penetapan penyadapan pukul 9 malam juga harus dilayani,” tandas Anggara.
Saat ini, beberapa institusi yang telah mempraktikkan penyadapan seperti KPK, Kepolisian, Kejaksaan dan intelijen. Mereka menyadap warga negara untuk kepentingan organisasi atau mengatasnamakan keamanan nasional. Hanya saja, tidak semua hasil penyadapan membuahkan hasil, bahkan beberapa diantaranya timbul korban.
“Contohnya ya kasus Meta Dharmasaputra beberapa waktu lalu. Isi sms-nya bocor kemana-mana dan dia tidak tahu harus meminta tanggung jawab ke siapa,” tutur Anggara menyayangkan.
(Ari/ndr)
Artikel ini dimuat di us.detiknews.com