Pada 31 Juli 2014 akan menjadi hari bersejarah dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia. Tepat pada tanggal tersebut, UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) mulai berlaku.
Optimisme akan UU SPPA meninggi disebabkan UU SPPA diklaim telah memenuhi standart hak-hak anak dalam ketentuan Internasional maupun nasional. UU SPPA dianggap dapat mengubah wajah peradilan pidana anak di Indonesia, pendekatan yang lebih mengedepankan kepentingan anak, memperkenalkan lebih dalam keadilan restoratif sampai dengan pembentukan fasilitas, pemajuan penegak hukum dan infrastruktur yang ramah anak menjadi bagian tak terpisahkan dari UU SPPA.
Sudah 2 tahun disahkan, UU SPPA tidak tanpa celah. Menurut Erasmus Napitupulu, Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), masih banyak perkerjaan rumah yang harus dikerjakan pemerintah baik dalam hal pembentukan peraturan pelaksana maupun penguatan di masing-masing sektor yang memiliki kepentingan.
Menurut Erasmus, Pemerintah masih memiliki kewajiban dalam mengaluarkan setidaknya 6 (enam) PP dan 2 (dua) Perpres untuk pelaksanaan UU SPPA, kewajiban tersebut telah diamanatkan dalam berbagai pasal di UU SPPA. Erasmus menjelaskan bahwa meskipun terdapat ketentuan dalam Pasal 107 UU SPPA yang menyebutkan bahwa Peraturan pelaksanaan UU SPPA harus ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak UU SPPA diberlakukan, namun kehadiran peraturan pelaksana dari UU SPPA sangat mutlak diperlukan bersamaan dengan diberlakukannya UU SPPA pada akhir Juli ini.
“Bagaimana mungkin UU nya mau diberlakukan tapi tak satupun peraturan pelaksanaannya dibuat” sebutnya. “Tanpa adanya Peraturan Pelaksana, UU SPPA tidak akan optimal, lebih jauh, 31 Juli hanya akan menjadi seremonial bukan momentum perubahan” tegasnya menambahkan.
Selain peraturan yang masih menjadi titik lemah dari pemberlakuan UU SPPA, dalam waktu dekat dan dalam masa transisi seperti saat ini, peran aparat penegak hukum dan pengadilan menjadi sangat penting. Erasmus menyebutkan, dengan pengaturan yang masih minim setidaknya semua pengadilan anak atau pengadilan melibatkan anak harus sudah mulai tunduk pada pengaturan UU SPPA.
Erasmus berpendapat bahwa praktik pradilan selama ini dirasa tidak ramah pada anak, Berdasarkan penelitian ICJR terhadap 115 putusan pengadilan anak se-Jakarta pada 2012, terdapat data dimana 113 putusan diantaranya dijatuhi Pidana. Dari 113 putusan pidana tersebut kemudian didapatkan rincian 109 Putusan menjatuhkan pidana penjara dan 4 putusan menjatuhkan pidana percobaan. Gambaran dari praktik selama ini mengindikasikan bahwa penjatuhan pidana, terutama pidana penjara masih merupakan pilihan utama dari putusan pengadilan anak. Setidaknya dengan adanya UU SPPA, pemenjeraan pada anak bisa dihindarkan.
“UU SPPA memiliki arti penting bagi anak yang berhadapan dengan hukum”, untuk itu penting agar aparat penegak hukum dan hakim tunduk pada ketentuan yang ada dalam UU SPPA, serunya.
Dalam kondisi seperti ini, menurut Erasmus ada beberapa rekomendasi yang bisa dilakukan. Pertama, untuk pemerintah, terlebih pemerintah baru dibawah Presiden terpilih Joko Widodo, guna mempercepat pembentukan peraturan pelaksana UU SPPA. Kedua, pemerintah dapat melakukan monitoring kepada lembaga yang bertugas menyidik dan menuntut dan MA melakukan pengawasan kepada pengadilan dalam hal penerapan UU SPPA. Ketiga, Pemerintah harus mempercepat pembangunan infrasturktur fisik dan sumber daya aparatur negara guna menunjang pemberlakuan UU SPPA.
Erasmus menegaskan bahwa UU SPPA harus dimaknai sebagai langkah baik komitmen negara dalam pemenuhan hak-hak anak, terlebih lagi langkah awal perbaikan sistem peradilan pidana dan hukum di Indonesia. Untuk itu Erasmus percaya bahwa keberhasilan UU SPPA akan sangat ditentukan dari fokus dan keseriusan pemerintah untuk selalu mengawasi dan mengkontrol regulasi yang sudah ada maupun yang akan dibentuk.