100 Triliun untuk Kekerasan: Besarnya Kewenangan Polri dan Demokrasi yang Kian Tercekik

Dalam 17+8 Tuntutan Rakyat, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menjadi institusi yang paling mendesak untuk dibenahi. Hal ini disebabkan oleh brutalitas dan kesewenang-wenangan yang terus mereka tunjukkan terhadap masyarakat, termasuk dalam beberapa hari terakhir. Oleh karena itu, berikut adalah usulan kami untuk mendorong reformasi Polri.

Pecah Fungsi Kepolisian

Di Indonesia, Polri saat ini menjadi lembaga dengan kewenangan yang amat luas: mulai dari menjaga ketertiban, melayani masyarakat, sampai melakukan penegakan hukum pidana. Konsentrasi kewenangan ini menjadikan Polri sebagai “superbody’” yang sulit diawasi dan rawan penyalahgunaan kekuasaan. Padahal, jika merujuk pada filosofi dasar kepolisian, fungsi utama kepolisian seharusnya  berfokus pada menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat secara preventif dalam kehidupan sehari-hari.

Namun kenyataannya, fungsi Polri kini bercampur antara peran sipil dan militeristik, serta terlalu melekat dengan kepentingan politik negara. Situasi ini tidak hanya menimbulkan tumpang tindih kewenangan dengan lembaga lain, tetapi juga melahirkan banyak persoalan seperti penyalahgunaan wewenang, penggunaan kekerasan berlebihan, hingga minimnya akuntabilitas dan pengawasan. Sudah waktunya kita memikirkan ulang kedudukan dan fungsi Polri dalam sistem ketatanegaraan. Kedudukan Polri yang berada langsung di bawah Presiden diindikasikan sebagai penyebab dari tidak berjalannya mekanisme pengawasan, serta meluasnya kewenangan Polri menjadi alat kekuasaan (agent of political stabilisation) penguasa.

Oleh karena itu, memecah fungsi Polri bukan berarti melemahkan keamanan, justru sebaliknya: membagi kewenangan sesuai kebutuhan agar Polri tidak lagi menjadi lembaga tunggal dengan kuasa berlebih. Pecah fungsi bisa dilakukan dengan:

  1. Fungsi penegakan hukum (penyidikan tindak pidana) di bawah Polri/Bareskrim yang diperkuat dengan pengawasan oleh lembaga pengadilan (judicial scruťiny) melalui revisi KUHAP;
  2. Fungsi menjaga ketertiban umum, lalu lintas, dan pelayanan publik lainnya ditempatkan di bawah Kemendagri/Pemda, Kemenhub, dan kementerian terkait untuk mengurangi kecenderungan militerisasi aparat dalam pelaksanaan tugas sipil;
  3. Fungsi pengamanan dan penanganan aksi massa oleh Korps Brigade Mobile (Brimob) dikeluarkan dari institusi Polri karena kesalahkaprahan dalam membedakan tugas dan fungsi pemolisian sipil modern dengan tugas dan fungsi institusi militer.

Dengan pemisahan ini, Polri bisa kembali ke fungsi aslinya, yakni penegakan hukum dan memberi- kan perlindungan terhadap masyarakat, tanpa terbebani kepentingan politik dan kekuasaan. Langkah ini penting untuk memastikan sistem kepolisian yang lebih demokratis, transparan, dan akuntabel bagi semua warga negara.

Penguatan Lembaga dan Fungsi Pengawasan Kepolisian dengan Melibatkan Tim Independen

Salah satu akar persoalan serius dalam tubuh Polri adalah lemahnya mekanisme pengawasan. Secara teori, kewenangan besar yang dimiliki Polri seharusnya diimbangi dengan pengawasan berlapis–mulai dari internal, eksternal oleh lembaga negara, hingga kontrol publik melalui transparansi. Namun, dalam praktiknya, pengawasan internal lewat Propam atau komisi etik sering kali gagal menegakkan akuntabilitas. Kasus pembunuhan Brigadir Yosua misalnya, memperlihatkan bahwa pucuk pengawas internal justru terlibat langsung dalam kejahatan. Ketidaksetaraan struktur dan kepangkatan di tubuh Polri membuat fungsi pengawasan internal lumpuh, sementara pengawasan eksternal melalui Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) hanya bersifat formalitas tanpa memiliki daya paksa nyata.

Kondisi tersebut menghasilkan lingkaran impunitas, di mana pelanggaran dan penyalahgunaan wewenang terus berulang tanpa ada konsekuensi maupun efek jera bagi pelakunya. Keberadaan Kompolnas sebetulnya diharapkan dapat menjadi pengawas demokratis atas Polri dengan dibekali kewenangan strategis. Namun sayangnya, perannya dipersempit dalam UU Polri sehingga hanya berfungsi administratif. Oleh karena itu, pengawasan Polri perlu diperkuat dengan membentuk tim independen yang benar-benar otonom dari kepentingan internal maupun eksekutif (pemerintah). Tim ini harus memiliki kewenangan investigasi, akses penuh terhadap data, serta mandat untuk memberikan sanksi yang mengikat. Dengan begitu, Polri dapat diawasi secara efektif, mencegah penyalahgunaan wewenang dan mengembalikan kepercayaan publik pada institusi kepolisian.

Depolitisasi Polri

Selain itu, hal penting dalam melakukan Reformasi Polri adalah menjauhkan kepolisian dari kepentingan politik (depolitisasi Polri). Kasus pernyataan arogan Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni yang dapat memerintahkan polisi untuk menangkap demonstran, bahkan yang di bawah umur, mencerminkan betapa rentannya Polri terhadap intervensi politik. Hubungan struktural Komisi III dengan kepolisian memang menempatkan anggota legislatif pada posisi strategis, tetapi ketika kewenangan itu digunakan untuk menekan aparat, netralitas Polri yang seharusnya melindungi kebebasan berekspresi dan mengayomi seluruh rakyat menjadi taruhannya. Politisasi Polri juga terlihat dalam praktik pengangkatan pejabat kepolisian di daerah yang kerap diwarnai oleh intervensi pihak-pihak berkepentingan, termasuk kepentingan partai politik di DPR. Slogan “promoter” yang dulu digaungkan bahkan secara sinis dipelesetkan menjadi “promosi orang-orang terdekat,” menandakan rusaknya meritokrasi dalam tubuh kepolisian akibat tarik-menarik kepentingan politik.

Bahaya politisasi Polri sangat nyata karena membuka peluang lembaga ini berubah menjadi alat kekuasaan. Praktik kriminalisasi terhadap pegiat HAM seperti Fatiya Maulidiyanti dan Haris Azhar adalah contoh konkret bagaimana kepolisian bisa diarahkan untuk membungkam suara kritis publik. Tak hanya itu, akibatnya dalam kontestasi elektoral, institusi Polri pun rawan dijadikan instrumen politik praktis. Kasus pemanggilan kepala daerah dan kepala desa ke Polda Jawa Tengah di masa Pemilu tahun 2024 menunjukkan indikasi bahwa kepolisian dapat dimobilisasi untuk mengarahkan dukungan politik. Jika tren ini terus dibiarkan, Polri berpotensi menjadi bancakan elit politik kekuasaan dan kehilangan kepercayaan publik. Karena itu, depolitisasi Polri mendesak dilakukan agar kepolisian benar-benar mengabdi pada konstitusi dan menjaga demokrasi dari penyalahgunaan kekuasaan.

Pertanyaan ini sangat penting, karena anggaran kepolisian di Indonesia termasuk yang terbesar dibanding institusi lain, namun akuntabilitasnya minim.

Kekerasan Kepolisian dan Pentingnya Audit Anggaran Kepolisian

Pada APBN 2025, anggaran Polri mencapai lebih dari Rp100 triliun, menjadi salah satu lembaga dengan anggaran tertinggi di Indonesia. Besarnya anggaran lembaga kepolisian ini tentu saja perlu ditelaah lebih jauh dan dibongkar transparansinya. Semisal, menurut laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) per Februari 2024, Polri telah menghabiskan anggaran sekitar Rp188,0 miliar untuk pembelian gas air mata dan perlengkapannya. Hal ini menjadi salah satu bukti bahwasanya besarnya anggaran ini kerap dipakai untuk mengendalikan massa dalam aksi demonstrasi, alih-alih melindungi dan menerapkan standar-standar hak asasi manusia. Alokasi dana lebih banyak ke pembelian senjata, kendaraan taktis, proyek teknologi pengawasan, bukan ke peningkatan profesionalisme polisi di lapangan atau pelayanan masyarakat sehari-hari.

Kewenangan yang besar diberikan kepada institusi kepolisian juga pada akhirnya berdampak pada minimnya akuntabilitas dan tingkat brutalitas yang tinggi. Polisi pada akhirnya merasa kebal karena kekuatan institusinya terlalu dominan. Dengan sumber daya dan wewenang yang besar ini, Polri dapat menggeser fungsi lembaga lain (contoh: kewenangan Polri di RKUHAP).

Dari sisi ekonomi, beban anggaran kepolisian yang sangat besar justru menekan kapasitas fiskal negara untuk menyejahterakan warga. Dana triliunan rupiah yang seharusnya bisa dialihkan ke pembangunan sekolah, layanan kesehatan, atau subsidi pangan justru terserap untuk menopang belanja aparat. Hal ini mengukuhkan paradigma negara yang lebih mengutamakan keamanan dalam arti “law and order” ketimbang pemenuhan hak ekonomi rakyat. Lebih jauh, penggunaan anggaran yang tidak transparan membuka ruang korupsi sistemik, sehingga uang rakyat yang sudah terbatas kembali tergerus oleh praktik-praktik penyalahgunaan di internal institusi. Dampak lanjutannya adalah stagnasi pembangunan dan berlanjutnya ketimpangan ekonomi.

Dalam praktik penangkapan sewenang- wenang misalkan, berdasarkan UN Code of Conduct for Law Enforcement Officials (1979) salah satu elemen terpenting yakni polisi harus menghormati martabat manusia, melindungi HAM dan meminimalisir penggunaan kekuatan berlebih. Segala macam bentuk tindakan kepolisian harus mengedepankan asas proporsionalitas, nesesitas, dan legalitas. Dimana jika kita analisa dalam tindakan pengendalian massa kepolisian di beberapa aksi besar sejak ReformasiDikorupsi dengan jumlah massa yang ditangkap sebanyak lebih dari 3000 orang, Omnibus law sekitar 5000 orang ditangkap dan pada aksi Penolakan Tunjangan DPR ini selama 1 minggu kepolisian merilis bahwa terdapat lebih dari 3000 orang ditangkap di seluruh Indonesia. Maka dari itu, menjadi penting adanya evaluasi dan juga pengawasan yang lebih ketat terhadap institusi kepolisian untuk memastikan bahwa kesewenang-wenangan dan juga perilaku arogan kepolisian dapat ditindak dan dijatuhi hukuman pidana apabila terdapat kekerasan. Karena selama ini, tidak ada proses pemidanaan yang dilakukan bahkan ketika kekerasan tersebut menyebabkan meninggal dunia. Democratic policing sebagai sebuah pendekatan yang penting perlu diterapkan di Indonesia. Menempatkan polisi sebagai pelayan masyarakat, bukan alat penguasa.

Unduh catatan kritis untuk #ReformasiPolri di sini

Related Posts

  • 15 for Justice
  • Advokasi RUU
  • Dokumen Hukum
  • English
  • ICLU
  • Kegiatan
  • Law Strip
  • Media Center
  • Mitra Reformasi
  • Pengadaan
  • Publikasi
  • Rilis Pers
  • Special Project
    •   Back
    • Reformasi Defamasi
    • #diktum
    • Anotasi Putusan
    • Penyiksaan
    • Strategic Litigation
    • RKUHAP
    • Putusan Penting
    • advokasi RUU
    • Advokasi RUU
    • Resources
    • Cases
    • Other Jurisdiction Cases
    • Civil
    • Criminal
    • Media
    • National
    • Public
    • IT Related
    • Torture Cases
    • Torture Resources
    • Laws and Regulation
    • Law Enforcer
    • Survivor
    • Weekly Updates
    • RUU Polri
    • RUU TNI
    •   Back
    • Resources
    • Cases
    • Other Jurisdiction Cases
    • Civil
    • Criminal
    • Media
    • National
    • Public
    • IT Related
    •   Back
    • Civil
    • Criminal
    • Media
    • National
    • Public
    • IT Related
    •   Back
    • Kabar ICJR
    • ICJR di Media
    •   Back
    • Penetapan Presiden
    • Peraturan Menteri
    • Peraturan Pemerintah
    • Surat Edaran
    • Surat Keputusan Bersama
    • Keputusan DitJen PAS
    • Keputusan Menteri
    • Keputusan Presiden
    •   Back
    • Law Enforcer
    • Survivor
    •   Back
    • Torture Cases
    • Torture Resources
    • Laws and Regulation
    • Law Enforcer
    • Survivor
    •   Back
    • Peraturan Mengenai Trafficking
    • Perlindungan Saksi dan Korban
    • Rancangan KUHAP
    • Pemasyarakatan
    • Rancangan KUHP
    • Penetapan Presiden
    • Peraturan Menteri
    • Peraturan Pemerintah
    • Surat Edaran
    • Surat Keputusan Bersama
    • Keputusan DitJen PAS
    • Keputusan Menteri
    • Keputusan Presiden
    •   Back
    • Peraturan
    • Peraturan Mengenai Trafficking
    • Perlindungan Saksi dan Korban
    • Rancangan KUHAP
    • Pemasyarakatan
    • Rancangan KUHP
    • Penetapan Presiden
    • Peraturan Menteri
    • Peraturan Pemerintah
    • Surat Edaran
    • Surat Keputusan Bersama
    • Keputusan DitJen PAS
    • Keputusan Menteri
    • Keputusan Presiden
    •   Back
    • RUU Polri
    • RUU TNI
    •   Back
    • Weekly Updates
Load More

End of Content.

Copyright © 2024 Gogoho Indonesia | Powered by Gogoho Indonesia

Scroll to Top