Pada Senin 10, Maret 2025, Lapas Kelas II B Kutacane, Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh mengalami peristiwa kaburnya beberapa narapidana. Kejadian tersebut terjadi ketika menjelang berbuka puasa, diketahui narapidana yang kabur sebanyak 50 orang. Mereka membobol lapisan pintu pengamanan, serta merusak atap gedung lapas. Menurut keterangan Kepala Lapas Kelas II B Kutacane, Kabupaten Aceh Tenggara, Andi Hasyim pada saat kejadian tersebut berlangsung, petugas keamanan yang ada hanya berjumlah 6 (enam) orang.
Berdasarkan Sistem Database Pemasyarakatan (SDP) Publik Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas), kapasitas Lapas Kelas II B Kutacane seharusnya hanya mampu menampung 100 orang. Namun, Lapas ini dihuni oleh 370 orang dengan mayoritas perkara narkotika. Data ini menunjukan bahwa rasio petugas keamanan dan penghuni Lapas 3:185, sehingga kelebihan kapasitas seperti ini sangat mungkin memicu berbagai permasalahan, termasuk risiko keamanan sehingga sangat sulit mengantisipasi narapidana yang kabur.
Jumlah narapidana yang melebihi kapasitas lapas ini (overcrowding) merupakan isu menahun yang tidak mendapat titik terang yang dihadapi pemerintah Indonesia. Fenomena overcrowding disebabkan oleh tingginya angka penggunaan penjara sebagai alat utama dalam penanganan perkara pidana. Hal ini sejalan dengan data SDP Publik yang menunjukan bahwa penghuni Lapas Kutacane didominasi oleh perkara narkotika. Data yang ada menunjukan bahwa negara masih memilih penjara dalam merespons permasalahan narkotika.
Dari kondisi tersebut, ICJR mendorong perubahan legislasi dalam Revisi UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan mendekriminalisasi pengguna narkotika untuk kepentingan pribadi. Revisi ini bertujuan agar pengguna dalam jumlah tertentu mendapatkan intervensi kesehatan oleh lembaga medis, bukan rehabilitasi berbasis hukuman.
Di sisi lain, saat ini pemerintah merespons permasalahan overcrowding dengan mengupayakan pemberian amnesti kepada narapidana. Dalam prosesnya, Kementerian Hukum bersama Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan telah menentukan amnesti untuk 44 ribu orang. Namun, setelah dilakukan verifikasi dan asesmen oleh Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum di Kementerian Hukum, angka tersebut menurun menjadi 19 ribu orang.
ICJR memberikan catatan kepada Kementerian Hukum untuk menjalankan strateginya dalam mengatasi overcrowding di Lapas salah satunya dengan memberikan amnesti terhadap terpidana. Kebijakan ini perlu dijalankan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam proses pemberian amnesti. Transparansi dan akuntabilitas tersebut tidak hanya sebatas mempublikasi jumlah terpidana yang berhak mendapatkan amnesti. Namun perlu adanya kebijakan yang jelas terkait proses amnesti ini untuk memastikan pemberian yang adil bagi para terpidana, minimal diatur oleh Peraturan Menteri.
ICJR juga mendorong pemerintah agar mengefektifkan penggunaan pidana selain penjara, mengingat kritik terhadap pemenjaraan yang seringkali memutuskan ikatan pelaku tindak pidana dengan komunitasnya, sehingga menghambat reintegrasi narapidana ke masyarakat. Hal ini selain membuat angka pemenjaraan semakin tinggi, juga menjadikan siklus kejahatan yang terus berulang, karena tak ada intervensi yang benar-benar menjamin adanya reintegrasi sosial.
Peristiwa ini menunjukan bahwa mengatasi overcrowding di Lapas bukan sekadar mengatasi masalah kapasitas, tetapi juga memberikan reintegrasi dan dukungan yang memadai bagi para narapidana (warga binaan pemasyarakatan). ICJR menuntut pemerintah untuk tidak hanya bergantung pada amnesti sebagai solusi jangka pendek, tetapi juga mengefektifkan alternatif pemidanaan non-pemenjaraan dan reformasi kebijakan pidana, utamanya kebijakan narkotika guna mencegah semakin memburuknya situasi di Lapas. Tanpa langkah strategis yang berkelanjutan, kasus serupa berpotensi kembali terjadi.
Jakarta, 11 Februari 2025
Hormat Kami,
ICJR