20 Oktober 2019, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin resmi dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2019-2024 melalui Sidang Paripurna MPR RI. Dengan demikian sudah 2 tahun pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin berjalan dan 7 tahun lamanya Presiden Joko Widodo memimpin pemerintahan Republik Indonesia.
Dalam pidatonya di sidang tahunan MPR RI 16 Agustus 2021, Presiden Jokowi hanya menyinggung mengenai reformasi struktural perekonomian, tidak dengan reformasi hukum dan perlindungan HAM. Sejak dinyatakan terpilih secara resmi sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024, ICJR telah mengingatkan betapa pentingnya aspek reformasi hukum dan perlindungan HAM untuk mendorong pertumbuhan ekonomi negara. Jaminan atas kepastian hukum dan perlindungan hak asasi manusia merupakan kondisi yang mutlak untuk menciptakan ekosistem politik dan ekonomi yang kondusif untuk pertumbuhan ekonomi. Sayangnya,dalam masa pemerintah kedua Presiden Joko Widodo pun, reformasi hukum apalagi sistem peradilan pidana tak bergaung.
ICJR menilai reformasi peradilan pidana saat ini berjalan stagnan. Respons yang diberikan pemerintah justru minim di tengah kesempatan dan momentum untuk melakukan reformasi ada di depan mata.
1. Reformasi hukum pidana materiil
Awal 2020, kita dihadapkan dengan adanya pandemi covid-19, menyebabkan begitu banyak penyesuaian yang harus dilakukan. Tak terkecuali sistem peradilan pidana. Dengan adanya pandemi covid-19, masalah sistem peradilan pidana makin terpampang nyata. Salah satunya mengenai overkriminalisasi dan ketergantungan begitu besar dengan pemenjaraan. Pemerintah berjibaku untuk mengeluarkan populasi dalam Rutan dan Lapas, juga sedikit bergeser menghadirkan narasi tentang pentingnya mengoptimalkan alternatif pemidanaan non pemenjaraan dan penggunaan pendekatan restorative justice untuk menyelesaikan perkara pidana.
Namun, inti masalah tentang adanya overcrowding dan ketergantungan pada penjara luput direspons secara konkret melalui langkah-langkah reformatif. Hal ini tergambar dari pembahasan dan perumusan RKUHP. Pasca 12 kali sosialisasi pemerintah, substansi RKUHP masih berpotensi menghadirkan overkriminalisasi, pasal-pasal yang sudah didekriminalisasi dan dikoreksi karena bertentangan dengan negara demokratis justru dihadirkan kembali dengan ancaman penjara menjadi pilihan utama. Mulai penghinaan pada Presiden, lembaga negara, sampai pidana berunjuk rasa yang mengganggu ketertiban umum (dimana pasal ini sudah tidak lagi berlaku di KUHP saat ini), masih saja diancam pidana dan dihadiahi penjara.
RKUHP juga masih memuat pasal-pasal kriminalisasi berkaitan dengan penyerangan ruang privasi warga negara, lekat dengan pendekatan moralitas, seolah masalah moral harus diselesaikan dengan hukum pidana, dalam konteks kriminalisasi ruang privat ini, menunjukkan bahwa negara masih sangat bergantung pada penjara untuk mengatur perilaku warga negaranya.
Tidak hanya RKUHP, legislasi lain yang overkriminalisasi tak juga diperbaiki secara tepat dan segera. Misalnya yang paling utama, UU Narkotika, yang masih memidana pengguna narkotika, tapi langkah menghadirkan dekriminalisasi pengguna narkotika tak kunjung dikonkretkan. Seharusnya pemerintah dapat mengambil pembelajaran dari peristiwa kebakaran di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Tangerang yang menewaskan 48 orang dan mayoritas pengguna narkotika yang sedari awal tak perlu dipenjara. Masalah Narkotika yang berujung pada overcrowding, masih menjadi kegagalan terbesar Presiden Jokowi.
Kebijakan pidana lainnya, yaitu UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Meskipun telah ada usaha pemerintah untuk membantu perbaikan masalah implementasi UU ITE di lapangan melalui Surat Keputusan Bersama Nomor 229 Tahun 2021, Nomor 154 Tahun 2021, Nomor KB/2/VI/2021 tentang Pedoman Implementasi Atas Pasal Tertentu Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), namun hal tersebut belum efektif dan belum mencabut akar masalah dari UU ITE. Patut diingat bahwa pedoman tersebut disusun sebagai pedoman implementasi dalam masa transisi pengesahan Revisi Kedua UU ITE, seperti yang dijanjikan Pemerintah, sehingga Revisi UU ITE harus segera dibahas oleh Pemerintah dan DPR. Prinsip yang harus dihadirkan adalah perlindungan warga negara, bukan mengedepankan represifitas negara.
2. Reformasi hukum acara pidana
Tak hanya dalam aspek materiil mengenai norma hukum pidana, momentum reformasi hukum acara juga terjadi dengan adanya pandemi covid-19. Seharusnya respons segera dijalankan untuk membuat pengaturan hukum acara pidana yang tetap menjamin hak atas peradilan yang adil di tengah kondisi darurat. Sayangnya pemerintah juga luput mereformasi hal ini di tataran legislasi. Di aspek lain, masalah KUHAP yang minim pengawasan efektif makin memperlihatkan masalahnya. Kewenangan begitu besar pada kepolisian untuk melakukan penahanan semakin menunjukkan masalah ketika pandemi terjadi. Hal ini juga berhubungan dengan terjadinya penyiksaan. Berdasarkan data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), ditemukan 80 kasus penyiksaan sepanjang periode Juni 2020 hingga Mei 2021, di mana kepolisian masih menjadi aktor utama dalam kasus penyiksaan.
Bahkan, beberapa minggu ke belakang, Indonesia diramaikan dengan tagar #PercumaLaporPolisi, sebagai bentuk kekecewaan masyarakat oleh karena sikap institusi Polri yang dianggap tidak profesional dalam menangani kasus-kasus yang terjadi di masyarakat, semisalnya kasus kekerasan seksual 3 (tiga) anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, tindakan kekerasan terhadap mahasiswa yang menggelar aksi pada peringatan ulang tahun kota Tangerang, penetapan tersangka bagi warga yang diserang oleh preman, kekerasan seksual, hingga ancaman yang dilakukan oleh aparat kepada warga. Seharusnya hal tersebut menjadi momentum bagi Presiden Jokowi untuk mereformasi institusi dan personel kepolisian secara menyeluruh agar lebih akuntabel dan berperspektif HAM. Reformasi ini, mau tak mau dilakukan dengan merombak hukum acara pidana melalui revisi KUHAP untuk memberikan jaminan perlindungan HAM dan sistem akuntabel dengan adanya pengawasan efektif dan menghindarkan kewenangan yang eksesif bagi kepolisian.
3. Reformasi Respon Pemerintah terhadap kritik masyarakat
Selain masalah-masalah di atas, masih terdapat juga catatan kritis dalam pemerintahan saat ini ketika merespon ekspresi warga negaranya. Aparat seringkali bertindak represif dengan tidak mengindahkan batasan kewenangan yang diatur dalam UU dan melanggar HAM. Hal itu dapat dilihat salah satunya dalam kasus demonstrasi Reformasi Dikorupsi 2019 maupun Mosi Tidak Percaya 2020, di mana terlihat adanya penggunaan kekuatan secara berlebihan atau excessive use of force oleh aparat. Belum lagi, iklim ketakutan bagi publik untuk menyampaikan pendapat dengan adanya praktik penghapusan mural hingga ancaman warga yang menyuarakan #PercumaLaporPolisi.
Atas dasar hal tersebut, ICJR masih memberikan rapor Merah pada pekerjaan rumah Presiden Joko Widodo di isu reformasi peradilan pidana. Kami mengapresiasi langkah-langkah yang telah diambil oleh jajaran pemerintahan Presiden, namun kami tetap mendesak Pemerintahan Presiden Jokowi untuk melakukan langkah-langkah konkret dalam mereformasi peradilan pidana, dengan:
1. Secara serius membahas pencegahan overkriminalisasi dan overcrowding, Presiden Jokowi harus berkomitmen penuh bahwa perumusan hukum pidana tidak boleh menghadirkan overkriminalisasi, apalagi kriminalisasi yang menjauhkan demokrasi dan perlindungan warga negara
2. Secara serius membahas akuntabilitas sistem peradilan pidana dengan menginisiasikan pembahasan revisi KUHAP dengan menjamin due process of law dan perlindungan HAM sebagai prinsip
3. Memberikan ruang demokrasi yang terbuka kepada masyarakat, dengan tidak merespons secara reaktif dan represif kritik dan masukan dari masyarakat
Jakarta
21 Oktober 2021
Hormat Kami
ICJR
Cp: Sustira Dirga, Peneliti ICJR