- Kebijakan politik kriminal atau strategi penanggulangan kejahatan (Dasar Putusan MA tentang Uji Materil PP 99 Tahun 2012)
Pembinaan yang berbeda terhadap narapidana, merupakan konsekuensi logis adanya perbedaan karakter jenis kejahatan yang dilakukan narapidana, perbedaan sifat berbahayanya kejahatan yang dilakukan dan akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang dilakukan oleh masing-masing narapidana;
Keberadaan Peraturan Pemerintah memperketat syarat pemberian Remisi agar pelaksanaannya mencerminkan nilai keadilan. Sehingga menunjukkan pembedaan antara pelaku tindak pidana yang biasa atau ringan dengan tindak pidana yang menelan biaya yang tinggi secara sosial, ekonomi, dan politik yang harus ditanggung oleh Negara dan/atau rakyat Indonesia.
Dengan demikian, perbedaan perlakuan merupakan konsekuensi etis untuk memperlakukan secara adil sesuai dengan dampak kerusakan moral, sosial, ekonomi, keamanan, generasi muda, dan masa depan bangsa, dari kejahatan yang dilakukan masing-masing narapidana.
Bahwa postulat moral yang melatarbelakangi Undang-Undang dan dikeluarkannya Pengetatan remisi bagi koruptor adalah karena korupsi di Indonesia telah merampas hak-hak dasar sosial dan ekonomi dari rakyat Indonesia dan berlangsung secara sistemik dan meluas.
Bahwa konstruksi hipotesis yang tertuang dalam rumusan pasal-pasal hukum pidana mengandung misi penanggulangan kejahatan, sehingga ada politik kriminal atau strategi penanggulangan kejahatan dalam setiap Undang-Undang Pidana, seperti Undang-Undang Terorisme, Korupsi, Narkotika. Dengan adanya Peraturan pengetatan remisi yang secara khusus diberikan kepada kejahatan-kejahatan berat justru menunjukkan adanya konsistensi roh atau spirit penanggulangan kejahatan tertentu agar kejahatan tersebut tidak sampai meruntuhkan tatanan sosial dalam masyarakat bangsa Indonesia.
- Revisi Baru Yang Mengubah Syarat Remisi Bagi Korupsi
Saat ini Pemerintah lewat Kementrian Hukum HAM sedang berupaya melakukan revisi atas Peraturan Pemerintah No 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang syarat dan tata cara Pelaksanaan Hak warga Binaan Pemasyarakat ( atau sering disebut sebagai PP 99). Keinginan Pemerintah ini dilandasi karena adanya perintah UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem peradilan Pidana Anak (SPPA), mengenai syarat pemberian pembebasan bersyarat khusus anak yang berbeda dengan syarat narapidana dewasa
Institute Criminal Justice Reform (ICJR) mendorong inisiatif dari pemerintah tersebut, khususnya terkait respon legislasi implementasi SPPA yang selama ini memang terlambat dilakukan oleh pemerintah. Sampai saat ini pengaturan penempatan maupun hak hak anak serta pelaksanaan pidana memang belum terakomodir dalam legislasi.
Namun ICJR mempertanyakan dalam RPP yang saat ini berada dalam proses penyusunan di Kementerian Hukum dan HAM. Terutama terkait dengan soal remisi dalam Pasal Bab X Remisi. Khususnya dalam Pasal 32 RPP. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa:
“ (1) Pemberian remisi bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana …..korupsi…lainnya dapat diberikan jika telah memenuhi persyaratan (a). berkelakuan baik dan (b), telah menjalani 1/3 (satu petiga) masa pidana.” (2) selain persyaratan sebagaimana dimaksud ayat (1) bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak korupsi dan pencucian uang yuang telah membayar lunas denda dan uang penganti sesuai putusan pengadilan.”
ICJR mengritik keras niat Pemerintah atas perubahan rumusan pasal remisi tersebut. Menurut ICJR, Pemerintah sebaiknya tidak usah menyentuh perbaikan pasal terkait remisi bagi terpidana korupsi. Banyak fokus pembenahan yang lebih penting dilakukan dari pada mengutak atik ketentuan remisi untuk kasus korupsi tersebut.
Pemerintah seharusnya justru lebih konsisten menerapkan ketentuan Pasal 34 A Peraturan Pemerintah No 99 Tahun 2012 agar kasus korupsi yang selama ini membentuk sistem, jaringan dan terorganisir lebih mudah terbongkar dengan skema JC. Maka, dalam rangka upaya dan mendorong kerja policy dalam pemberantasan korupsi maka pembatasan remisi bagi terpidana korupsi menjadi penting, titik tekannya tentu saja dalam konteks JC. Oleh karena itu rumusan RPP yang makin menurunkan syarat pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi terpidana korupsi merupakan wujud inkonsistensi pemerintah. Ini akan menjadi langkah mundur pemerintah dalam memberantas korupsi.
PP 99 Tahun 2012 |
RPP
|
Remisi Pasal 34A
(1)Pemberian Remisi bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana …………korupsi, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 juga harus memenuhi persyaratan: a. bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya; b. telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi; dan |
Remisi Pasal 32
“(1) Pemberian remisi bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana …..korupsi …lainnya dapat diberikan jika telah memenuhi persyaratan (a)berkelakuan baik dan (b)telah menjalani 1/3 (satu petiga) masa pidana.”
(2) selain persyaratan sebagaimana dimaksud ayat (1)bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak korupsi dan pencucian uang yuang telah membayar lunas denda dan uang penganti sesuai putusan pengadilan.”
|
Asimilasi Pasal 36 Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34A ayat (1), setelah memenuhi persyaratan: 1. berkelakuan baik; 2. aktif mengikuti program pembinaan dengan baik; dan 3. telah menjalani 2/3 (dua per tiga) masa pidana. |
Asimilasi Pasal 43 “(b) narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana …..narkotika…lainnya dapat diberikan jika telah memenuhi persyaratan 1. berkelakuan baik selama 9 bulan terakhir 2. aktif mengikuti program pembinaan dengan baik 3. telah menjalani 2/3 (dua petiga) masa pidana. Dan 4. telah membayar lunas denda dan uang penganti untuk narapidana melakukan tindak korupsi dan pencucian uang.
|
- Peran Jaksa Terkait Syarat Remisi bagi Pelaku yang bekerjasama
Bahwa salah satu alasan pemerintah kenapa syarat Justice Colaborator (JC) di hilangkan dalam RPP adalah persoalan mengenai kesulitan mengakses status JC. Karena sulitnya mengakses JC maka kemungkinan besar tidak akan mendapatkan remisi.
Kemudian karena sulitnya mengakses JC maka dicurigai timbul fenomena munculnya sertifikat JC yang dikeluarkan secara sepihak tanpa prosedur dan syarat yang benar. Justru Hal inilah yang perlu ditelusuri, apakah demikian kondisi yang terjadi. Jika demikian maka perlu di cek seluruh terpidana korupsi setelah tahun 2012 (berdasarkan Permen) yang mendapatkan status dari aparat penegak hukum terutama Jaksa maupun LPSK (berdasarkan UU No 31 tahun 2014).
Status JC itu memang tidak boleh sembarangan diberikan, dan label JC juga dilakukan saat proses penuntutan dan secara resmi dinyatakan dalam tuntutan, di luar skema tersebut maka JC bisa jadi memfasilitasi remisi. Status JC juga harus dipublikasikan ke publik sejak awal bukan diminta di ujung ketika hendak memohon remisi . Hal Ini juga mungkin terjadi karena SOP mengenai JC di kejaksaan juga tidak pernah dipersiapkan. Akibatnya dicurigai banyak implementasi yang berbeda-beda.
Peran baru bagi Jaksa adalah terkait dengan PP No 99 tahun 2012, terkait remisi
Kemudian dalam Pasal 34A:
1) Pemberian Remisi bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 juga harus memenuhi persyaratan:
- bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;
- telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untu Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi; dan
- telah mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh LAPAS dan/atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, serta menyatakan ikrar:
1) kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi Narapidana Warga Negara Indonesia, atau
2) tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi Narapidana Warga Negara Asing, yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme.
Remisi untuk Narapidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34A ayat (1) diberikan oleh Menteri setelah mendapat pertimbangan tertulis dari menteri dan/atau pimpinan lembaga terkait.
Selanjutnya dalam Surat Edaran Menkumham Amir Syamsuddin tertanggal 21 Desember 2012 Nomor M.HH-04.PK.01.05.04 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan PP Nomor 99 Tahun 2012, disebutkan bahwa sejak berlakunya PP Nomor 99 Tahun 2012, semua pengusulan remisi (baik yang sudah pernah memperoleh remisi maupun baru pertama kali diusulkan remisi), asimilasi, dan pembebasan bersyarat bagi narapidana dan anak pidana harus memenuhi persyaratan sesuai PP Nomor 99 Tahun 2012, yakni:
- Telah mengikuti program pembinaan dengan predikat baik dibuktikan dengan kartu pembinaan dan/atau hasil assesment;
- Bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya yang dibuktikan dengan surat yang ditetapkan oleh penegak hukum terkait bahwa narapidana dan anak pidana yang bersangkutan adalah saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator);
- Telah mengikuti program deradikalisasi dibuktikan secara tertulis yang menerangkan bahwa narapidana yang bersangkutan telah bersikap kooperatif dan menyatakan ikrar kesetiaan kepada NKRI;
- Kategori kejahatan transnasional terorganisasi lainnya di antaranya illegal logging, illegal fishing, illicit trafficking, money laundering.
Peran jaksa sangat penting dalam implementasi remisi berdasarkan PP tersebut, namun dalam pelaksanaannya belum ditemukan pengaturan yang jelas bagaimana rekomendasi jaksa dalam hal narapidana mendapat remisi dapat di terapkan. Jika melihat syarat yang di minta oleh PP remisi maka Jaksa memiliki kewenangan yang cukup besar yakni memberikan surat keterangan (ditetapkan oleh penegak hukum terkait) bahwa narapidana dan anak pidana yang bersangkutan adalah saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator).
- Melonggarkan Remisi dan Overkapasitas
Hubungan remisi dan overkapasitas sebetulnya tidak segaris. Namun ada kecenderungan bahwa pemerintah mengaitkan perubahan pengetatan remisi ini dengan situasi kepadatan lapas. Jadi dengan di bukanya peluang remisi yang dipermudah maka akan terjadi dampak pengurangan jumlah anak didik dalam lapas. Ini adalah asumsi yang paling kerap disampaikan dalam pemberitaan media.
ICJR justru mempertanyakan semangat ini, jika memang berencana mengurangi overkapasitas, maka mengapa di arahkan atau menyentuh kebijakan pemidanaan kepada kejahatan korupsi ? bukankah hal ini salah sasaran. Karena seperti yang diketahui, berdasarkan data SDP bahwa jumlah warga binaan terbesar dalam Lapas salah satunya adalah narapidana yang menyandang status korban penyalahguna napza/narkotika. Jumlah inilah yang menjadi mayoritas penghuni lapas. Sedangkan narapidana Korupsi hanya sedikit.
Kapasitas | 118.969 |
Jumlah Penghuni (Napi dan Tahanan)/ Juli 2016 | 197.670 |
Narapidana Kasus Narkotika | 60.818 |
Narapidana Kasus Narkotika yang teridentifikasi sebagai pengguna | 20.411 |
Narapidana Kasus Korupsi | 3.632 |
Dalam hukum narkotika di Indonesia, ada masalah besar dalam pengkualifikasian antara pengguna narkotika dengan “bandar”. Dalam catatan ICJR, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, lebel bandar dan pengguna hanya dipisahkan oleh pasal-pasal penguasaan dalam narkotika yang terkenal karet, sehingga, banyak pengguna dan pecandu narkotika yang dikategorikan sebagai “bandar”. Dengan kata lain, jumlah pengguna dan pecandu narkotika secara faktual dan empiris lebih banyak dari data resmi yang dikeluarkan pemerintah. Sekali lagi, karena UU Narkotika gagal untuk secara tegas mengidentifikasi dikotomi antara bandar dan pengguna atau pecandu. Kami mendorong adanya perubahan UU Narkotika dalam konteks delik pidana untuk lebih menjamin hak-hak pengguna dan pecandu narkotika guna mendapatkan rehabilitasi dari negara.
Dengan kondisi hukum narkotika yang sangat buruk ini, Pemerintah justru mengarahkan perubahan kebijakan ke arah salah sasaran. Seharusnya, pelonggaran remisi diarahkan kepada korban narkotika yaitu pengguna dan pecandu, yang sebetulnya tidak layak masuk dalam penjara. Apalagi SEJA SEMA terkait pengguna dan pecandu harus masuk rehabilitasi, mengalami kegagalan dalam praktik, karena kebijakan aparat penegak hukum kita ternyata lebih bersemangat memasukkan mereka (pengguna/pecandu) ke penjara. Akibatnya sebagian penjara kita berubah menjadi minimarket narkotika.
- Rekomendasi
Atas paparan di atas maka ICJR merekomendasikan:
Pertama, terkait remisi bagi terpidana korupsi sebaiknya tetap menggunakan pembatasan seperti yang diatur oleh PP 99 tahun 2012, dengan tetap mencantumkan syarat berkolaborasi sebagai syarat khusus bagi remisi
Kedua, khusus bagi terpidana yang di kualifikasi sebagai penyalahguna narkotika perlu diberikan syarat remisi yang lebih spesifik agar sesuai dengan kebijakan Harm Reduction. Hal ini untuk mendorong adanya perubahan remisi korban penyalahguna Narkotika dalam konteks delik pidana untuk lebih menjamin hak-hak pengguna dan pecandu narkotika guna mendapatkan program rehabilitasi dari negara