Hak Para Korban Kejahatan Masih Menggantung
6 bulan pasca revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban, PP No 44 Tahun 2008 harus segera diperbaiki
Sejak Revisi Undang-Undang perlindungan Saksi dalam UU No 31 Tahun 2014 yang ditetapkan tanggal 17 Oktober tahun 2014 lalu. Implementasi atas perlindungan korban harusnya sudah dapat diraih oleh para korban kejahatan di Indonesia. Karena dengan UU baru tersebut, maka kelemahan dalam UU N0 13 tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan Korban dapat memperbaiki.
Hal yang positif dari revisi tersebut adalah dimasukkannya ketentuan mengenai Hak kompensasi bagi korban terorisme (pasal 7) dan Hak bantuan medis Psikologis kepada korban kejahatan khusus seperti: Pelanggaran HAM berat, Penyiksaan, dll, (pasal 6) yang dalam UU No 13 Tahun 2006 belum tertampung.
Namun setelah lewat 6 Bulan, belum terlihat perubahan peraturan lainnya seperti perubahan atas PP No 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, retitusi dan bantuan. Peraturan tersebut sangat penting bagi pemberian bantuan bagi korban kejahatan, dengan lambatnya perbaikan maka hal ini akan memperlemah Implementasi perlindungan bagi Korban Kejahatan di Indonesia.
Untuk itu Koalisi Perlindungan Saksi meminta agar pemerintah lebih serius untuk mempercepat proses revisi PP tersebut, karena jika terlalu lama maka hak-hak korban kejahatan akan semakin menggantung. Revisi tersebut penting dilakukan karena PP 44 tahun 2008 belum menampung hak-hak korban terorisme atas kompensasi dan hak bantuan medis psikososial bagi kejahatan khusus.
Koalisi mendukung Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan mengapresiasi langkah inisiatif LPSK untuk melakukan Revisi atas PP 44 Tahun 2008 tersebut. Sampai dengan saat ini LPSK telah merancang draft awal RPP tersebut. Koalisi berharap LPSK juga dapat mensosialisasikan kepada publik mengenai rancangan naskah tersebut sembari mempercepat proses penyerahan naskah inisiatif kepada pemerintah. LPSK juga segera memperbaiki seluruh standar prosedur atau SOP terkait pemberian dukungan bagi korban kejahatan.
Secara khusus Koalisi menyoroti agar LPSK secara khusus juga memperhatikan prosedur pemberian Kompensasi kepada Korban Kejahatan HAM berat dan Terorisme. Pengaturan Kompensasi dalam UU No 31 tahun 2015 ditengarai masih lemah sehinga perlu terobosan baru dalam Rancangan Peraturan Pemerintah yang akan datang.
Koalisi Perlindungan Saksi
Artikel Terkait
- 05/03/2017 Review ICJR atas Ancaman dan Perlindungan Pelapor atau Whistle Blower di 2016
- 27/08/2014 Perlindungan bagi whistleblower dan Pelaku yang bekerja sama, Harus Diperkuat
- 21/05/2014 Perlindungan bagi Saksi, korban, whistleblower dan Pelaku yang bekerja sama, belum Maksimal
- 13/06/2016 Problem Penetapan Bagi Pelaku Yang Bekerjasama Masih Terjadi di Pengadilan, Hakim dan Jaksa Masih Belum Sepakat Soal Status Pelaku Yang Bekerjasama
- 07/12/2018 4 Catatan ICJR untuk Komisioner LPSK Terpilih
Related Articles
Persekusi Pasangan diduga Melanggar Kesusilaan: DPR dan Pemerintah Harus Berhati-hati dalam merumuskan Tindak Pidana tentang Kesusilaan
ICJR mengecam keras tindakan main hakim sendiri dari warga Cikupa, Tangerang khususnya ketua RW setempat atas dugaan terjadinya tindak pidana
Selamat Jalan, Hakim Agung Maruap Dohmatiga Pasaribu
ICJR menyampaikan ucapan bela sungkawa sedalam-dalamnya atas meninggalnya Yang Mulia Hakim Agung Maruap Dohmatiga Pasaribu. Beliau merupakan salah satu hakim
ICJR dan LBH Pers : Kasus Robertus Robet Adalah Ancaman Serius Kebebasan Berekspresi
Yang lebih fatal adalah karena baik pidana dalam Pasal 28 ayat (2) ITE atau 156 KUHP tentang ujaran dan propaganda