ICJR dan YLBHI menyerukan polisi untuk bekerja secara profesional dalam proses penyidikan tragedi Kanjuruhan. Pemanggilan dan pemeriksaan saksi harus sesuai dengan prosedur dalam hukum acara pidana (KUHAP). Kapolri dan TGIPF yang dibentuk Presiden perlu mengusut dugaan adanya penculikan dan perampasan kemerdekaan sewenang- wenang dan memberi sanksi pada bawahannya yang tidak menaati prosedur, supaya bisa menghentikan praktik pelanggaran yang sepertinya sudah dianggap lazim.
Sebelumnya, beberapa hari setelah tragedi Kanjuruhan, seorang saksi K mengaku dijemput aparat dan dibawa ke kantor polisi atas unggahannya di media sosial yang memperlihatkan kepanikan penonton di Stadion Kanjuruhan ketika pintu stadion ditutup dan gas air mata dilemparkan aparat. Berdasarkan keterangan LPSK yang sempat mendampingi, saksi K diperiksa oleh aparat pada 3 Oktober 2022 pukul 16.00 sampai 18.00 WIB lalu kemudian dipulangkan.
Selain itu juga ditemukan fakta bahwa ketika diperiksa, saksi K mendengar pernyataan-pernyataan intimidatif dari penyidik yang mengatakan akan menghapus akun sosial media dan video-video dalam hp saksi K yang diambil saat tragedi Kanjuruhan terjadi. Setelah sempat “diamankan” oleh penyidik, hp tersebut berhasil dikembalikan kepada saksi K pada Jumat, 7 Oktober 2022 dengan dibantu LPSK. Meskipun video serta akun media sosial saksi K masih utuh dalam hpnya ketika dikembalikan, namun kami tetap mengutuk keras perlakuan intimidatif aparat terhadap saksi tersebut.
Selain saksi K, tidak menutup kemungkinan ada juga pengunggah video tragedi Kanjuruhan lainnya yang mengalami hal serupa yakni dipanggil secara paksa oleh polisi yang luput terekam pemberitaan. Kadiv Humas Polri, Irjen Pol Dedi Prasetyo pada 4 Oktober 2022 memang mengakui bahwa ada yang bertugas untuk mencari saksi dari kalangan masyarakat. Namun, oleh karena pelaksanaannya yang tidak sesuai prosedur, beredar kabar bahwa pengunggah video tersebut telah diculik oleh intel aparat, meskipun kemudian ada klarifikasi dari pihak kepolisian soal pemanggilan tersebut.
Kami menyerukan agar penyidik dalam melakukan penyidikan terhadap kasus Kanjuruhan harus mematuhi prosedur yang ada dalam KUHAP. Pasal 112 dan 227 KUHAP menegaskan bahwa harus ada tenggang waktu yang wajar antara pemberitahuan/pemanggilan dengan waktu pemeriksaan, yakni minimal berjarak 3 hari. Selain itu, KUHAP juga memerintahkan polisi untuk membawa surat pemanggilan yang sah, menjelaskan alasan pemanggilan/pemeriksaan, tempat dilakukan pemeriksaan, termasuk memperlihatkan identitas yang jelas ketika melakukan tugas-tugas penyelidikan seperti pemanggilan saksi untuk dimintai keterangannya. KUHAP juga mewajibkan untuk menyampaikan informasi tersebut kepada keluarga yang bersangkutan jika kemudian ditindaklanjuti dengan upaya penangkapan atau penahanan. Tanpa memenuhi prosedur sebagaimana tersebut, tindakan aparat menjadi tidak berbeda dengan penculikan terhadap warga sipil.
Tindakan yang sewenang-wenang ketika melakukan pemanggilan terhadap saksi jelas akan menciptakan iklim ketakutan bagi warga untuk menyuarakan ekspresi nya. Masyarakat menjadi enggan untuk memposting video-video yang didokumentasikannya ketika peristiwa terjadi karena takut akan ditangkap polisi atau diintimidasi. Padahal di sisi lain, dokumentasi dari warga tersebut juga dibutuhkan untuk proses investigasi.
Untuk itu, ICJR dan YLBHI meminta secara khusus kepada Presiden melalui TGIPF dan Kapolri untuk merespon pelanggaran-pelanggaran prosedur hukum acara pidana yang kerap kali ditemukan dalam proses penyelidikan/penyidikan, sebab hal ini bukan baru pertama terjadi pada kasus pengusutan tragedi Kanjuruhan dan sudah seperti menjadi praktik yang dibenarkan. Kapolri dan TGIPF harus bersikap tegas untuk mengusut dugaan perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang tersebut hingga memberikan sanksi pada para pelanggar prosedur.
Di sisi lain, kami juga merekomendasikan agar negara menyediakan ruang dan akses seluas-luasnya untuk warga sipil mengadukan perlakuan aparat yang tidak sesuai prosedur dalam menjalankan tugas-tugasnya. Setidaknya, terdapat 19 orang yang saat ini telah secara resmi mengajukan perlindungan pada LPSK untuk menjadi saksi dalam pengusutan tragedi Kanjuruhan. Selain LPSK, lembaga-lembaga seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, dan Ombudsman RI diharapkan juga dapat mengambil peranan aktif untuk membuka aduan dari warga terhadap tindakan aparat yang mengarah pada kesewenang-wenangan dan dapat secara tanggap merespon aduan tersebut, agar jangan ada ruang untuk penculikan maupun tindakan sewenang-wenang aparat lainnya dalam menjalankan proses pengusutan tragedi Kanjuruhan.
Jakarta, 12 Oktober 2022
Hormat Kami,
ICJR-YLBHI