Selasa, 1 Oktober 2024, DPR DPD dan MPR RI melakukan pelantikan terhadap 580 Anggota DPR terpilih untuk menjadi perwakilan rakyat selama periode pemerintahan 2024-2029. Terhadap pelantikan tersebut, ICJR menyerukan dan kembali mengingkatkan kepada seluruh anggota DPR terpilih mengenai fungsi penting mereka dalam 3 bidang yaitu legislasi, anggaran dan pengawasan. Ketiga fungsi tersebut harus digunakan semaksimal mungkin untuk menghadirkan pelaksanaan pemerintahan di sektor peradilan pidana yang berbasis bukti, efisien tidak koruptif dan senantiasa diawasi secara komprehensif dan responsif.
Untuk menghadirkan optimalisasi fungsi DPR tersebut, ICJR mengingatkan anggota DPR RI terpilih untuk memperhatikan 8 isu peradilan pidana yang harus menjadi perhatian anggota DPR, yaitu pertama, transparansi dan akuntabilitas sistem peradilan, kedua, kekerasan dan brutalisme aparat, ketiga, kebebasan berekspresi dan berpendapat, keempat, overkriminalisasi dan penertiban regulasi pidana, kelima, kebijakan narkotika & rutan dan lapas yang sesak, keenam, pelanggaran HAM berat masa lalu, ketujuh, perlindungan korban dan kelompok rentan, serta kedepalan, penghormatan analisis gender dalam peradilan pidana. Delapan isu penting yang harus diperhatikan ini adalah seruan ICJR dalam untuk pemerintahan 2024 – 2029 baik oleh Pemerintah maupun DPR, yang bisa diakses lebih detail dalam website ICJR: https://icjr.or.id/wp-content/uploads/2023/12/Catatan-ICJR-Paslon-Presiden-8-Isu-Peradilan-Pidana.pdf.
Adapun terkait dengan depalan isu tersebut, ICJR meminta Anggota DPR terpilih untuk segera mempelajari dan melakukan pembahasan terhadap sejumlah UU, yaitu:
Pertama, untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas sistem peradilan pidana serta mencegah terjadinya brutalitas aparat, Anggota DPR harus berkomitmen untuk membahas revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP), karena sistem peradilan pidana di bawah KUHAP yang berlaku saat ini minim pengawasan. Tidak ada fungsi pengawasan peradilan (judicial scrutiny) yang memadai, tidak ada fungsi hakim komisaris yang menjamin seluruh sikap tindak aparat penegak hukum dalam menyelenggarakan proses peradilan pidana terhadap tersangka dan terdakwa diawasi. Selain RKUHAP, pembahasan RUU krusial lainnya juga harus diinisiasikan, yaitu Revisi UU Advokat, untuk menjamin penguatan fungsi advokat dalam peradilan pidana. Serta yang tak kalah penting berkaitan dengan mencegah dan secara efektif menanggulangi judicial corruption dengan menjamin penguatan penegakan hukum korupsi lewat Revisi UU KPK dengan semangat kembali memperkuat KPK serta membahas RUU Perampasan Aset. Terkait dengan hal ini, ICJR juga mengikatkan bahwa Revisi UU Polri tidak bisa dijalankan sebelum RKUHAP dibahas dan disahkan.
Kedua, untuk menjamin penghormatan kebebasan berekspresi dan berpendapat, Anggota DPR harus berkomitmen untuk melakukan fungsinya dalam melakukan pengawasan penegakan hukum kepada Pemerintah. Saat ini terdapat kondisi dimana ketentuan hukum dipakai untuk melakukan kriminalisasi terhadap sikap-sikap kritis terhadap kebijakan pemerintah. DPR harus mengawasi untuk tidak terjadinya upaya kriminalisasi tersebut, termasuk DPR harus mencegah untuk tidak dilakukannya inisiasi ataupun pembahasan RUU yang menghambat demokrasi, seperti RUU Penyiaran yang pernah diusulkan Baleg DPR RI.
Ketiga, untuk menanggulangi overkriminalisasi hukum pidana dan kondisi penuh sesaknya penjara di Indonesia, ICJR menyerukan penting peran legislasi DPR untuk merevisi dan merombak ulang UU yang overkriminalisasi. UU yang paling penting untuk direvisi dalam konteks ini adalah UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. UU ini menjadi penyebab utamanya terjadinya overcrowding rutan dan lapas di Indonesia. Pada 2023 – 2024, Pemerintah dan DPR telah memulai pembahasan RUU ini, namun pada Februari 2023, Pemerintah menarik kembali draft tersebut dikarenakan draft sebelumnya tidak mengatasi masalah karena tidak ada perbaikan pada pengaturan penguatan perlakukan bagi pengguna narkotika dengan menggunakan pendekatan kesehatan. Anggota DPR Komisi III periode lalu pun sudah menyerukan pentingnya mensinergikan pendekatan kesehatan dan hukum dalam revisi UU Narkotika, dengan mendukung upaya dekriminalisasi pengguna narkotika. ICJR mengingatkan kembali bahwa anggota DPR periode 2024 – 2029 harus meneruskan komitmen DPR lalu, untuk mengedepankan pendekatan kesehatan bagi pengguna narkotika.
Keempat, untuk menguatkan hak korban dalam peradilan pidana, dan menjamin perspektif gender dalam peradilan pidana, ICJR juga mendorong Anggota DPR dalam revisi KUHAP juga menjamin pengaturan yang berperspektif gender misalnya penghindaran penahanan bagi perempuan hamil dan dengan beban pengasuhan, serta penguatan hak korban, termasuk memperkenalkan mekanisme dana bantuan korban dalam RKUHAP, dan juga menginisiasi RUU Bantuan Korban guna menjamin pengaturan mekanisme penyediaan jaminan penanggaran negara untuk bantuan korban tindak pidana.
DPR memiliki peran penting menjaga agar pemerintahan dilakukan dengan berbasis bukti, efisien tidak koruptif dan senantiasa diawasi secara komprehensif dan responsif. Maka, fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan DPR harus dijamin, salah satunya lewat legislasi peradilan pidana yang tepat, paling tidak dalam enam RUU yang kami sebutkan diatas yaitu RKUHAP, RUU Advokat, Revisi UU KPK, RUU Perampasan Asset, RUU Narkotika dan RUU Bantuan Korban.
Hormat Kami,
ICJR