Mahkamah Konstitusi melalui putusan bernomor 21/PUU-XII/2014, akhir April lalu memperluas obyek kewenangan praperadilan. Hakim MK menyatakan penyitaan, penggeledahan, dan penetapan tersangka, merupakan obyek praperadilan. Usai putusan tersebut, beberapa kelompok mendesak Mahkamah Agung segera merespons putusan MK dengan menerbitkan peraturan internal.
“MA harus mempersiapkan perma yang mengatur standar pemeriksaan dua alat bukti dan hukum acara praperadilan. Peraturan itu harus sesegera mungkin diterbitkan untuk merevisi panduan praperadilan yang selama ini dipegang oleh hakim,” ujar Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform, Supriyadi Widodo Eddyono, di Jakarta, Jumat (8/5).
Supriyadi berkata, putusan MK memang dapat mengakibatkan pengadilan negeri kebanjiran perkara praperadilan. Hal itu terjadi karena selama ini pencari keadilan tidak memiliki wadah untuk mengajukan permohonan pengujian sah atau tidaknya penetapan tersangka. “Pasti terjadi tsunami karena selama ini ditutup,” ucapnya.
Untuk itulah, menurutnya, keberadaan perma akan begitu vital. Meski presiden dapat mengeluarkan peraturan presiden pengganti undang-undang, Supriyadi tidak melihat potensi banjir permohonan praperadilan sebagai suatu kegentingan yang memaksa.
Supriyadi berharap, melalui perma itu MA juga mengatur jumlah ketersediaan hakim yang khusus menangani praperadilan, tempat sidang dan jangka waktu persidangan.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, putusan MK ini merupakan jawaban atas permohonan judicial review yang diajukan tersangka korupsi bioremediasi PT Chevron, Bachtiar Abdul Fatah.
MK mempertimbangkan, Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum, sehingga asas due process of law harus dijunjung tinggi oleh seluruh pihak lembaga penegak hukum demi menghargai hak asasi seseorang.
Sementara mengacu pada KUHAP, MK berpandangan prinsip due process of law belum diterapkan secara utuh lantaran KUHAP tidak mengakomodir pengujian terhadap alat bukti untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka apakah diperoleh dengan cara yang sah atau tidak.
“Penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang di dalamnya kemungkinan terdapat tindakan sewenang-wenang dari penyidik yang termasuk dalam perampasan hak asasi seseorang,” mengutip putusan MK
Sumber: CNN Indonesia