Refleksi Proses Legislasi dan Perjalanan Advokasi RUU KUHAP
Pada 23 Juni 2025, pemerintah resmi menandatangani naskah Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) untuk Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) saat ini Komisi III DPR-RI akan melakukan kick off pembahasan RUU KUHAP setelah mengundang pemerintah untuk menerima DIM dalam waktu dekat.
Sebelumnya, selama proses awal hingga saat ini Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP konsisten mengawal dan memberikan masukan sampai kritik untuk penyusunan RUU KUHAP ini.
Namun sampai DIM rampung dikerjakan oleh pemerintah, kami merasa usulan dan masukan masyarakat sipil tidak diakomodir sedikitpun. Selain itu, proses penyusunan hingga pembahasan ini sangat terburu-buru dan jauh dari nilai reformasi hukum dan pertimbangan suara rakyat. Dalam konferensi pers yang dilakukan oleh Komisi IIIDPR-RI, RUU KUHAP harus segera diselesaikan dalam 2 (dua) kali masa sidang dan berencana sah sebelum Januari 2026.
Hal ini tentu sepantasnya dipersoalkan. Pada berbagai kesempatan Koalisi mengingatkan pentingnya materi muatan RUU KUHAP secara komprehensif menghormati dan memenuhi hak warga negara yang berhadapan dengan sistem peradilan pidana dalam kapasitas sebagai pelapor/pengadu, saksi, korban, ahli, tersangka/terdakwa. RKUHAP mestinya disusun secara cermat dan hati-hati sehingga mampu menjawab permasalahan jaminan perlindungan HAM yang gagal dipenuhi dalam KUHAP lama. Sementara itu, RUU KUHAP 2025 belum memenuhi hal tersebut, bahkan lebih buruk dari draf RUU KUHAP 2012.
Kami mencermati proses penyusunan dan pembahasan RUU KUHAP cenderung memiliki pola yang sama seperti penyusunan dan pembahasan RUU bermasalah lainnya, seperti misalnya Revisi UU KPK, UU Minerba, UU MK, UU IKN, UU TNI, UU CK (Omnibus Law) dan undang-undang lainnya yang juga bermasalah selama prosesnya. Hal tersebut menjadi bagian dari strategi sistemik untuk melemahkan demokrasi. Legislasi tak lagi bertujuan untuk melindungi rakyat, namun menjadi alat penguasa.
Pada Rabu, 18 Juni 2025 Komisi III DPR-RI mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) mengenai RUU KUHAP. Dalam kesempatan tersebut Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman berpendapat bahwa RUU KUHAP sebagai RUU paling partisipatif dalam proses penyusunannya. Komisi III DPR-RI mengklaim telah melakukan RDPU kurang lebih sebanyak 50 kali, termasuk dengan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP. Hal ini tentu merupakan klaim sepihak yang patut dipersoalkan. Mengingat Koalisi tidak pernah menghadiri RDPU resmi untuk menyampaikan pandangan.
Kami menegaskan bahwa partisipasi publik yang bermakna bukan sekadar mendengarkan pendapat/usulan. Bahwa meaningful participation pada pengertiannya yang paling mendasar, perlu juga merespons pendapat/usulan secara serius, antara lain dengan memberikan penjelasan atau jawaban yang rasional atas setiap pendapat/usulan yang diberikan. Tidak hanya itu, agar publik dapat berpartisipasi dan memberikan pendapat/usulan yang berarti, hak keterbukaan atas keterbukaan informasi dan transparansi segala perkembangan dokumen pembahasan yang dapat diakses publik, adalah suatu keniscayaan yang mutlak perlu. Selama ini yang terjadi jauh dari ideal. Di banyak kesempatan, Koalisi harus mengingatkan dan mengajukan surat permohonan agar draf RUU KUHAP dapat diakses oleh publik. Tidak sedikit pihak dan kelompok masyarakat memberikan komentar atau tanggapan atas RUU KUHAP, tanpa sebelumnya diberikan akses untuk membaca dan mencermati pasal demi pasal draf RUU KUHAP-nya. Lantas bagaimana mungkin ada partisipasi, ketika transparansi sebagai prasyaratnya pun tidak ada?
Lebih lanjut, proses ini membahayakan masa depan sistem hukum Indonesia. Bagaimana mungkin reformasi sistem peradilan pidana dilakukan tanpa kritik publik dan tanpa suara korban serta pembela HAM? Dalam konteks meningkatnya kriminalisasi terhadap pembela HAM dan aktivis, RUU KUHAP yang dibahas secara diam-diam adalah ancaman langsung terhadap kebebasan sipil. Sementara itu, proses yang mengabaikan hak-hak dasar menunjukkan upaya menghancurkan prinsip negara hukum.
Catatan Kritis Atas Draf RUU KUHAP: Mempertanyakan Ulang 9 Poin Penguatan RUU KUHAP Versi Pemerintah
Ini 9 poin penguatan RUU KUHAP versi pemerintah:
- Memuat mengenai jaminan hak-hak tersangka, terdakwa, dan terpidana;
- Perlindungan khusus bagi saksi, korban, perempuan, dan penyandang disabilitas;
- Penegasan mekanisme upaya paksa, termasuk penetapan tersangka dan pemblokiran aset;
- Perluasan ruang lingkup praperadilan;
- Pengaturan tentang restorative justice;
- Ketentuan tentang kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi;
- Penguatan peran advokat dan pengaturan saksi mahkota;
- Aturan pidana untuk korporasi; dan
- Integrasi sistem informasi peradilan pidana berbasis teknologi digital.
Kami hendak merespons secara kritis sebagian poin RUU KUHAP yang menjadi perhatian pemerintah sebagai berikut:
Kesatu, pengaturan jaminan perlindungan hak setidak-tidaknya harus terdiri dari 2 (dua) aspek: 1) apa saja hak-hak tersangka, terdakwa, terpidana, saksi, korban; dan 2) bagaimana cara mengakses hak tersebut. Bahwa tiap aturan tentang hak-hak tersangka, terdakwa, terpidana, berikut hingga hak-hak khusus bagi perempuan dan penyandang disabilitas, pada akhirnya akan sia-sia dan percuma apabila tidak dilengkapi dengan jalur komplain/keberatan/gugatan atas pelanggaran hak, prosedur pemeriksaan ada tidaknya pelanggaran hak, dan apa konsekuensi ketika terbukti terdapat pelanggaran hak.
Misalnya, draf RUU KUHAP telah menyebutkan, antara lain, bahwa tersangka/terdakwa setiap waktu berhak mendapat bantuan juru bahasa yang dibutuhkannya. Pertanyaannya, bagaimana jika seorang tersangka yang tidak mengerti bahasa Indonesia diinterogasi tanpa dibantu dengan juru bahasa yang ia butuhkan? Kepada siapa tersangka yang bersangkutan dapat mengajukan komplain/keberatan atas pelanggaran hak ini? Dan, apabila pelanggaran hak ini nantinya terbukti, apakah konsekuensinya: pemeriksaannya diulang, tersangka diberikan ganti rugi, atau bagaimana?
Contoh lain misalnya, bahwa perempuan yang berhadapan dengan hukum berhak untuk didengar keterangannya melalui audio visual jarak jauh, apabila dirinya diliputi rasa takut/trauma psikis yang didasarkan pada penilaian dokter/psikolog. Pertanyaannya, bagaimana jika hak ini tidak terpenuhi? Bagaimana jika ternyata, permohonan pemeriksaan melalui audio visual jarak jauh ini tidak disetujui, dan hal ini menimbulkan dampak yang begitu buruk bagi perempuan yang berhadapan dengan hukum tersebut? Kemana ia dapat mengakses haknya? Kepada siapa dia dapat mengajukan komplain/keberatan atas pelanggaran hak tersebut? Dan, apabila pelanggaran hak ini nantinya terbukti, apa konsekuensinya? Ini baru contoh 2 (dua) hak dari sekian banyak hak-hak lainnya! Tetapi dari kedua ilustrasi ini saja kita dapat melihat, bahwa pengaturan tentang daftar hak-hak, serinci dan sedetail apapun itu, akan sia-sia dan percuma apabila tidak dilengkapi dengan prosedur hukum acara yang dapat menjamin pemenuhan hak-hak tersebut.
Kedua, pengaturan upaya paksa setidak-tidaknya harus terdiri dari 3 (tiga) aspek: 1) apa saja syarat untuk dapat dilakukannya upaya paksa; 2) prosedur upaya paksa (jangka waktu, pelaksanaan, dll); dan 3) mekanisme uji keabsahan upaya paksa. Tanpa adanya syarat dan prosedur upaya paksa yang jelas, pelaksanaan upaya paksa akan berpangku diskresi-subjektif penegak hukum belaka, yang pada akhirnya berpotensi dilakukan secara sewenang-wenang. Misalnya, mengenai jangka waktu penangkapan. Draf RUU KUHAP menyebutkan bahwa penangkapan dilakukan untuk paling lama 1 (satu) hari. Dalam keadaan tertentu, penangkapan dapat dilakukan lebih lama dari jangka waktu tersebut. Pertanyaannya, “lebih lama” dari jangka waktu ini maksudnya berapa lama? Apakah 3 (tiga) hari, 30 (tiga puluh) hari, atau 300 (tiga ratus) hari, RUU KUHAP tidak memberikan kejelasan sama sekali.
Belum lagi tentang “keadaan tertentu” yang dapat menyebabkan perpanjangan masa penangkapan. Pertanyaannya, siapa yang menentukan “keadaan tertentu” ini? Apakah semata-mata hanya berpijak pada diskresi-subjektif penegak hukum, atau bagaimana? Kemudian, lantas bagaimana cara kita dapat menguji sah atau tidaknya penangkapan, ketika RUU KUHAP sendiri menyerahkan (perpanjangan) penangkapan pada penilaian subjektif aparat penegak hukum? Contoh lain misalnya, draf RUU KUHAP menyebutkan bahwa di tahap penyelidikan dapat dilakukan beberapa kewenangan investigasi khusus, antara lain pembelian terselubung (undercover buy) dan penyerahan di bawah pengawasan (controlled delivery). Tapi, draf RUU KUHAP sama sekali tidak mengatur apapun, baik itu tentang persyaratan, prosedur, dan mekanisme uji dari kewenangan-kewenangan investigasi khusus. Dari kedua contoh ini saja, kami bertanya-tanya tentang di mana letak penegasan pengaturan tentang upaya paksa (dan kewenangan investigasi khusus) di dalam RUU KUHAP ini?
Ketiga, berbicara tentang praperadilan sebagai forum uji keabsahan upaya paksa tidak terbatas pada perluasan ruang lingkup objek pemeriksaan praperadilan, yakni seluruh upaya paksa, penghentian penyidikan dan penuntutan, atau ganti rugi atau rehabilitasi. Kami mengidentifikasi 1 (satu) hal penting yang luput diatur dalam draf RUU KUHAP, yaitu mengenai beban pembuktian sah tidaknya upaya paksa.
Bahwa segala tindakan aparat penegak hukum adalah didasarkan pada kewenangan hukum publik, sehingga pembuktian tentang sah tidaknya tindakan publik tersebut pada prinsipnya dibebankan kepada pihak yang memiliki kewenangan publik tersebut.
Artinya, ketika seorang tersangka/terdakwa merasa bahwa suatu tindakan upaya paksa telah dilakukan secara melawan hukum, maka yang mesti membuktikan bahwa tindakan upaya paksa tersebut telah dilakukan secara sah adalah aparat penegak hukum sebagai pemangku kewenangan upaya paksa.
Dengan kata lain, hukum pembuktian tentang keabsahan upaya paksa tidak berlaku prinsip pembuktian perdata “barangsiapa yang mendalilkan, dia yang membuktikan”. Tapi justru sebaliknya, barangsiapa yang memiliki kewenangan, dialah yang dibebankan kewajiban untuk membuktikan bahwa penggunaan kewenangan tersebut telah dilakukan secara legal. Tanpa pengaturan tentang prinsip pembuktian yang adil, pada akhirnya pengaturan tentang perluasan ruang lingkup objek pemeriksaan praperadilan sampai detail prosedur hukum acara pemeriksaannya, tetap akan sia-sia dan percuma.
Keempat, draf RUU KUHAP salah kaprah dalam memaknai restorative justice sebagai paradigma baru hukum pidana, dengan mengartikan restorative justice sebatas pada mekanisme penyelesaian perkara di luar persidangan (afdoening buiten process). Padahal, filosofi restorative justice berpangku pada hak dan kepentingan korban untuk dipulihkan dari dampak-dampak yang ditimbulkan tindak pidana; sedangkan penyelesaian perkara di luar persidangan (afdoening buiten process) berpangku pada kepentingan negara dalam mengelola kelebihan beban kerja peradilan (criminal justice overload) dan kepentingan pelaku untuk diselesaikan perkaranya sedini mungkin.
Ini jelas keliru. Sekalipun restorative justice dimaknai dengan mekanisme penyelesaian perkara di luar persidangan, sungguh membingungkan apabila draf RUU KUHAP membuka ruang penyelesaian perkara di luar persidangan pada tahap penyelidikan dan penyidikan. Apa yang mau diselesaikan, ketika perbuatan pidananya sendiri belum ada? Bagaimana mungkin suatu tindak pidana mau diselesaikan di luar persidangan, ketika penyidikan atas tindak pidana tersebut juga belum tuntas? Bukankah “pilihan” untuk menyelesaikan perkara pidana di luar persidangan baru lahir ketika suatu perkara telah selesai disidik (“P-21”) dan sudah siap dilimpahkan ke persidangan?
Kelima, peran advokat dalam suatu perkara akan sangat esensial bagi siapapun yang berurusan dengan proses hukum. Hal paling pertama dan terutama yang diharapkan pada seorang advokat adalah, bagaimana ia dapat diandalkan untuk dapat memberikan pembelaan yang optimal, sehingga terbangun keberimbangan antara kepentingan penegak hukum dengan pembelaan diri tersangka/terdakwa (equal of arms).
Kami percaya, asas keberimbangan dalam acara pidana akan menuntun kita pada proses peradilan yang adil. Masalahnya, dalam praktiknya, untuk kepentingan pembelaan kliennya, advokat baru dapat mengetahui dan mengakses bukti-bukti yang dikumpulkan penegak hukum seketika sebelum perkaranya disidangkan (Pasal 143 ayat (4) KUHAP 1981). Padahal, hak untuk mengakses dan menelusuri bukti-bukti yang sedang dikumpulkan penegak hukum di tahap pra-ajudikasi (pre-trial discovery rights) sangat amat esensial bagi tersangka/terdakwa dan advokatnya untuk menyusun pembelaan yang optimal.
Sayangnya, tidak ada kebaruan apapun dalam draf RUU KUHAP yang memperluas jangkauan advokat untuk mengakses dan menelusuri bukti-bukti tersebut. Tanpa pengaturan ini, maka tugas utama advokat untuk memberikan pembelaan yang optimal akan terhambat, menyisakan pendampingan hukum dari advokat berakhir sebagai simbolis belaka, yang selalu tertinggal beberapa langkah di belakang penegak hukum lainnya.
Keenam, saksi mahkota pada prinsipnya adalah kesepakatan antara tersangka/terdakwa dengan penuntut umum, di mana di dalam kesepakatan tersebut tersangka/terdakwa bersedia untuk mengungkapkan tindak pidana yang dilakukan orang lain, dan oleh karenanya penuntut umum akan mengajukan keringanan tuntutan. Sungguh aneh apabila draf RUU KUHAP membuka ruang bagi penyidik untuk menetapkan saksi mahkota, sebab bagaimana mungkin penyidik dapat bersepakat dengan tersangka untuk menjadi saksi mahkota, ketika urusan berat ringannya hukuman (tuntutan) sama sekali bukan urusan dari penyidik? Pengaturan semacam ini berpotensi menimbulkan kerancuan dan kebingungan dalam praktik, yang tidak hanya akan merugikan para calon saksi mahkota, tetapi juga merugikan kepentingan penegakan hukum.
Sikap dan Tuntutan Kami
Kami menilai bahwa klaim-klaim penguatan RUU KUHAP yang disampaikan pemerintah jauh dari konsep acara peradilan yang adil dan berprinsip pada penghormatan hak asasi manusia. Kami juga menilai bahwa model partisipasi publik yang sedang terjadi sangat jauh dari pengertian dasar meaningful participation. Sebaliknya, Komisi III DPR RI dan Pemerintah justru melakukan meaningful manipulation.
Draf yang disusun DPR RI maupun DIM yang disiapkan pemerintah masih belum mengakomodir tuntutan 9 isu krusial yang kami pandang perlu diakomodir dalam RUU KUHAP. Mengingat kepentingan yang besar untuk perlindungan hak warga negara dari ancaman penyalahgunaan kekuasaan melalui hukum acara pidana, Koalisi menyusun Draf Tandingan RUU KUHAP versi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP untuk mengakomodir terjaminnya due process of law dan perlindungan hak asasi manusia.
Draf Tandingan RUU KUHAP ini disusun secara kolektif dan akan terus dikembangkan oleh lembaga anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP. Selain itu, kami juga terus menyerukan agar pembahasan RUU KUHAP pada masa sidang saat ini dilakukan secara mendalam dan substansial, tidak terburu-buru, cermat dan menerapkan prinsip partisipasi yang bermakna.
Akses Draf Tandingan RUU KUHAP versi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP: https://reformasikuhap.id/rkuhap-tandingan/
Jakarta, 8 Juli 2025
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP
ICJR, IJRS, LeIP, YLBHI, LBH Jakarta, IPP FPL, Amnesty International Indonesia, AJI Indonesia, LBH Masyarakat, SUAKA, PJS, LBH APIK Jakarta, LBH Pers, ELSAM, HRWG, PPMAN, ICW, YAPPIKA, ICEL, KontraS, Trend Asia, ILRC, BEM FH UI, CDS, PBHI, Koalisi RFP, PUSKAPA FH UI, AKSI Keadilan, SAFEnet, Setara Institute, CRM, IAC, Lokataru.