Permohonan ICJR sebagai Pihak terkait dan kesimpulannya dalam Perkara Nomor 77/PUU XII/2014 perihal Pengujian Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantaasan Tindak Pidana Pencucian Uang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Indonesia digemparkan dengan operasi tangkap tangan yang langsung dilanjutkan dengan penetapan status tersangka kepada Muhammad Akil Mochtar, yang kala itu menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi pada periode tahun 2013 dan merupakan pejabat tertinggi negara yang pertama, sekaligus dari institusi tertinggi penegak hukum di Indonesia yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penetapan tersangka tersebut diumumkan langsung oleh KPK pada awal Oktober tahun 2013 yang lalu. Akil Mochtar diduga menerima suap terkait perkara sengketa pemilihan dua kepala daerah, yakni di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah dan Kabupaten Lebak, Banten. Kejadian ini merupakan kasus pertama yang terjadi pada Mahkamah Konstitusi sebagai tembok pertahanan terakhir di bangsa ini.
Selama proses persidangan Terdakwa Akil Mochtar, muncul beberapa hal yang menarik perhatian masyarakat yakni dengan dilakukannya penuntutan seumur hidup yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum KPK kepada mantan Ketua Hakim Konstitusi tersebut. Hingga sampai kepada puncak persidangan Terdakwa yakni pada akhir Juni 2014, Terdakwa Akil Mochtar divonis hukuman pidana penjara seumur hidup oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta.
Pasca divonis seumur hidup, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar mengajukan permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) ke Mahkamah Konstitusi pada bulan Agustus 2014. Terdapat beberapa hal yang diujikan oleh Akil Mochtar terhadap Undang-Undang ini, diantaranya adalah Pasal 2 UU TPPU. Selain itu, Akil juga menguji kewenangan Jaksa KPK dalam menuntut perkara Tindak Pidana Pencucian Uang. Menurutnya, dalam UU TPPU, tidak ada satupun ketentuan yang memberikan kewenangan kepada jaksa KPK. Pengajuan ini dilakukan lantaran rasa ketidakpuasan Terpidana, Akil Mochtar dengan penerapan UU TPPU yang diterapkan kepada dirinya.
Hal pengajuan inipun tidak semata-mata diajukan karena ketidakpuasan Akil, dalam sidang putusan, salah satu majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, yaitu Hakim Sofialdi melakukan beda pendapat (dissenting opinion). Hakim Sofialdi tidak sepakat dengan 3 (tiga) hakim yang lain (satu hakim lagi yang melakukan dissenting opinion adalah Hakim Alexander Marwata) karena menanggap bahwa Jaksa Penuntut Umum KPK tidak berwenang menuntut perkara Pencucian Uang. Sedari awal juga, Hakim Sofialdi menilai dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima, sehingga dakwaan itu tidak dapat menjadi dasar untuk melakukan penuntutan.
Begitu pula dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang menggunakan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 yang merupakan Undang-Undang Pemberantasan Pencucian yang sudah tidak diberlakukan dengan hadirnya Undang-Undang Pencucian yang lahir pada tahun 2010. Hakim Sofialdi menganggap KPK tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, sehingga dengan sendirinya tuntutan yang berkaitan dengan perkara Akil Mochtar dinyatakan batal demi hukum.
Sementara, Hakim Alexander Marwata menyatakan, meski UU TPPU menentukan tindak pidana asal tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu, bukan berarti penuntut umum tidak perlu membuktikan tindak pidana asal. Penuntut umum tetap harus membuktikan tindak pidana asal. Hakim Alexander berpendapat tindak pidana asal tidak perlu dibuktikan hanya berlaku untuk pelaku pasif, bukan pelaku aktif. Dalam hal ini, Akil sudah mencoba membuktikan harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana korupsi. Mengingat peristiwa sudah terjadi cukup lama, tidak tertutup kemungkinan Akil lupa asal usul harta kekayaannya. Walau Hakim Alexander tidak meyakini keseluruhan pembuktian Akil, perampasan harta kekayaan tidak dapat dilakukan hanya karena pembuktian Akil dinilai tidak logis atau harta kekayaan Akil menyimpang dari profil. Alasan seperti itu dipandang Alexander tidak sesuai UUD 1945, sehingga akan menimbulkan ketidakadilan.
Mengingat ada dua hakim anggota yang menyatakan dissenting opinion, majelis memutus dengan suara terbanyak. Dengan demikian, menjadi alasan pendukung bagi Akil Mochtar dalam melakukan Pengujian materi terhadap UU TPPU.
Menanggapi uji materi yang dilakukan oleh Akil Mochtar, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mempersilakan Akil untuk mengajukan uji materi ke MK. Menurut Bambang, pengajuan uji materi ke MK merupakan hak setiap warga negara, tidak terkecuali Akil. Ia merasa yakin penuntut umum KPK memiliki kewenangan untuk menuntut perkara Tindak Pidana Pencucian Uang.
Sekedar mengingatkan, kewenangan Jaksa Penuntut Umum KPK menuntut perkara Tidnak Pidana Pencucian Uang kerap dipermasalahkan sejumlah pengacara dalam sejumlah sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta. Bahkan, ada beberapa hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang sepakat bahwa Jaksa Penuntut Umum KPK tidak memiliki kewenangan melakukan penuntutan perkara Pencucian Uang.
Kejadian diseenting opinion ini juga pernah terjadi sebelumnya dalam putusan terpidana Luthfi Hasan Ishaaq. Dua hakim ad hoc, yakni Hakim I Made Hendra dan Hakim Joko Subagyo menyatakan dissenting opinion karena menganggap Jaksa Penuntut Umum KPK tidak berwenang menuntut perkara Tindak Pidana Pencucian Uang. Kedua hakim tersebut menganggap tidak ada satupun ketentuan dalam UU TPPU yang menyebutkan kewenangan Jaksa Penuntut Umum KPK menuntut perkara Pencucian Uang.
Hal inilah yang mendasari Muhammad Akil Mochtar mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi terhadap beberapa pasal dan ketentuan dalam UU TPPU yang dianggapnya tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
ICJR sebagai lembaga yang selama ini concern dalam isu pembaharuan hukum pidana dan reformasi sistem peradilan pidana di Indonesia, merasa pengujian terhadap pasal-pasal yang diujikan pemohon dalam Perkara Nomor 77/PUU-XII/2014 perihal Pengujian Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantaasan Tindak Pidana Pencucian Uang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, berpotensi menciptakan situasi melemahnya penegakan hukum pencucuian uang di Indonesia. Bahwa situasi tersebut secara faktual atau setidak-tidaknya potensial akan menggagalkan usaha dan kegiatan yang dilakukan oleh ICJR sebagai lembaga yang memiliki visi pembaharuan hukum pidana Indonesia yang berkeadilan. Oleh karena itulah ICJR mengajukan permohonan sebagai pihak terkait tidak langsung dalam perkara ini.
Unduh disini