Pada Selasa 14 Oktober 2025, Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar dalam wawancara oleh media memberikan pernyataan bahwa pemberitaan kasus kekerasan seksual di media dibesar-besarkan, sehingga dapat menimbulkan kekhawatiran yang berlebihan dan berdampak pada menurunnya minat masyarakat untuk mendaftarkan anak-anak mereka ke pondok pesantren (CNN, 2025). Padahal, telah banyak catatan media yang membuka kasus-kasus kekerasan seksual yang krusial. Baru di bulan Agustus, polisi menangkap dua orang guru mengaji yang melakukan kekerasan seksual terhadap 14 anak-anak di Cianjur (MetroTV, 2025). Salah satu kasus serius lainnya adalah seorang pemimpin pesantren di Bandung yang terbukti melakukan tindak pidana perkosaan hingga melahirkan terhadap 13 anak-anak santriwati (Kompas, 2023).
Perlu dicatat bahwa dalam konteks perlindungan anak, Pasal 9 ayat (1a) UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak secara fundamental telah menjamin hak setiap anak untuk terbebas dari segala bentuk kekerasan dan kejahatan seksual, termasuk yang terjadi di lingkungan pendidikan, baik oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, maupun pihak lain.
Di sisi lain, dalam penyelenggaraan pendidikan yang berada di bawah naungan Kementerian Agama, Peraturan Menteri Agama (Permenag) No. 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual seharusnya menjadi pedoman Menag dalam melaksanakan tanggung jawabnya untuk mengambil peran aktif terhadap pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan institusi pendidikan berbasis keagamaan. Alih-alih memastikan penerapan Permenag tersebut berjalan secara menyeluruh dan efektif, pernyataan Menag dalam konteks ini justru menunjukkan kemunduran komitmen negara dalam memastikan lingkungan institusi pendidikan aman dari kekerasan seksual.
ICJR menilai bahwa pernyataan tersebut mencerminkan kegagalan Menag dalam memahami keberadaan serta pengalaman nyata para korban dan penyintas kekerasan seksual. Padahal, banyak kasus kekerasan seksual yang tidak pernah terungkap karena ketidakberdayaan korban untuk bersuara yang berakar pada kuatnya relasi kuasa dan lemahnya komitmen para pemangku kebijakan dalam merespons pengalaman korban secara berpihak dan empatik (Armstrong, dkk., 2018). Sehingga, ketika ada korban yang bersuara, seharusnya penyelenggara negara mendukung dan memastikan bahwa korban menerima perlindungan yang sesuai, serta dapat mengakses hak-haknya dengan mudah.
Selain itu, hadirnya kebaharuan hukum seperti Peraturan Pemerintah (PP) No. 29 Tahun 2025 tentang Dana Bantuan Korban dan PP No. 30 Tahun 2025 tentang Pencegahan, Penanganan, Perlindungan, dan Pemulihan Korban Kekerasan Seksual yang telah ditandatangani oleh Presiden Prabowo, perlu diperhatikan secara serius oleh seluruh penyelenggara negara termasuk Menteri Agama agar dapat melaksanakan tanggung jawabnya dengan berorientasi pada penghapusan kekerasan seksual dan penjaminan hak-hak korban kekerasan seksual.
ICJR menegaskan bahwa kekerasan seksual adalah kejahatan serius yang perlu direspon dengan pendekatan yang kontekstual terhadap pengalaman para korban dan penyintas. Penyelenggara negara seharusnya menunjukkan keberpihakan yang tegas terhadap korban dan penyintas, serta memperkuat langkah-langkah pencegahan dan penanganan yang berbasis pada prinsip keadilan dan pemulihan. Atas hal-hal yang telah disebutkan, ICJR mendesak agar:
- Menag, sebagai penyelenggara negara dengan konsekuensi besar dalam pernyataannya publiknya, perlu menyampaikan permintaan maaf secara terbuka atas pernyataannya;
- Komisi VIII DPR RI pada bidang Agama, Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak perlu memanggil Menag untuk melihat kinerja Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama dalam mengungkap fakta-fakta lapangan mengenai kasus kekerasan seksual, serta mengevaluasi langkah-langkah apa saja yang sudah dan belum dilakukan oleh Kementerian Agama dalam menangani kasus-kasus tersebut secara sistematis dalam institusi pendidikan berbasis agama;
- Presiden RI untuk melakukan evaluasi terhadap para anggota kabinet, dalam konteks ini yang berada di jajaran eksekutif, untuk memastikan bahwa penyelenggara negara memiliki perspektif yang berpihak kepada korban, serta mampu menjalankan komitmen terhadap penghapusan kekerasan seksual.
Jakarta, 17 Oktober 2025
Hormat Kami,
ICJR