Pemerintah Indonesia mewacanakan dekolonialisasi hukum pidana dengan melakukan pengesahan payung hukum pidana materiil melalui UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP. Dalam prosesnya, pemerintah menyatakan telah mengadopsi berbagai standar baru baik Internasional maupun perkembangan-perkembangan yang dinilai baik dari berbagai negara di dunia.
Perubahan KUHP ini telah membuka jalan baru bagi reformasi hukum dan peradilan pidana secara menyeluruh. Dengan adanya KUHP baru maka tentu saja pemerintah dan DPR harus menyiapkan hukum formil guna menegakkan seluruh asas prinsip serta pengaturan hukum materiil yang ada dalam KUHP, tanpa adanya KUHAP baru maka tidak hanya secara teknis KUHP sulit untuk dioptimalkan pemberlakuannya, namun jelas akan menghambat pencapaian cita-cita besar pembaruan hukum pidana versi pemerintah.
Dari sekian banyak isu dalam rencana reformasi hukum acara pidana, salah satu yang cukup menarik perhatian adalah wacana mekanisme “jalur khusus”. Dalam draf terakhir yang diterima oleh ICJR, para perumus Naskah Akademik RKUHAP mencantumkan mekanisme ini melalui pasal 197 RKUHAP dengan judul Jalur Khusus, saat ini berdasarkan draf terakhir menjadi pasal 199 RKUHAP. Jalur khusus merupakan sebuah mekanisme yang diberikan kepada terdakwa yang mengakui perbuatan tindak pidana yang didakwakan. Dampak dari pengakuan tersebut, terdakwa akan disidang menggunakan sidang acara pemeriksaan singkat.
Sepintas dalam berbagai uraian penjelasan pemerintah terkait mekanisme ini, jalur khusus terinspirasi dari mekanisme “plea bargain” dalam sistem hukum di Amerika Serikat. Plea bargain merupakan suatu sistem yang memungkinkan negosiasi antara penuntut umum dengan tertuduh atau pembelanya, di mana negosiasi tersebut harus dilandaskan pada kesukarelaan tertuduh untuk mengakui perbuatannya dan kesediaan dari penuntut umum untuk memberikan ancaman hukuman yang lebih ringan. Sepintas, sistem ini menarik untuk ditelusuri, namun dalam konteks suatu perbandingan terlebih jika ingin diadopsi,
semua sistem dari luar negeri haruslah diuji pada konteks di Indonesia.
Hukum tidak bergerak di ruang hampa, untuk itu sebagaimana nanti akan dijelaskan dan dijabarkan dalam penelitian ini, penulis akan menyoroti secara holistik mengenai teori dan praktik plea bargain di beberapa negara serta memetakan aspek-aspek penting, baik peluang, strategi dan hambatan penerapan plea bargain dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, dengan tetap mengacu pada konsep due process of law dan perspektif penghormatan hak asasi manusia. ICJR menilai bahwa pengadopsian sistem baru perlu ditinjau secara matang dan memastikan kesiapan implementasinya dari berbagai sektor, baik regulasi, struktur, maupun budaya hukum. ICJR merasa terhormat dapat bekerja sama dengan PERSADA Universitas Brawijaya serta para peneliti, Choky Risda Ramadhan, Fachrizal Afandi, Korneles Materay, Sustira Dirga, Nur Ansar dan Erasmus A. T. Napitupulu. Serta tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada The International Narcotics and Law Enforcement Affairs Section (INL) Amerika Serikat serta The Asia Foundartion (TAF) yang telah memberikan dukungan terhadap penelitian ini.
Kami berharap bahwa reformasi hukum acara pidana dapat dilakukan dengan segera dan tentu dengan selalu memperhatikan partisipasi bermakna dari masyarakat sipil. Penelitian ini kami harapkan menjadi bagian kontribusi kecil terhadap reformasi hukum acara pidana khususnya yang lebih berlandaskan pada hak asasi manusia dan rule of law.
Hormat kami,
Institute for Criminal Justice Reform
Unduh buku di sini