Dasar penangkapan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto dipertanyakan oleh sejumlah pihak. Menurut Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform Supriyadi W. Eddyono, ada ketidakwajaran pada prosedur penangkapan Bambang.
“Polisi harusnya disadarkan bahwa dasar melakukan penangkapan adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 16 dan Pasal 17 KUHAP jelas menyebutkan penangkapan dilakukan hanya kepada tersangka tindak pidana dan didasarkan pada bukti permulaan yang cukup,” ujar Surpiyadi ketika dikonfirmasi CNN Indonesia, Jumat (23/1).
Lebih jauh, merujuk Pasal 18 KUHAP, penangkapan dilakukan dengan memperlihatkan surat. Surat tersebut diberikan kepada seseorang yang telah ditetapkan statusnya sebagai tersangka. Dalam surat penangkapan, harus dicantumkan identitas tersangka, alasan penangkapan, dan uraian singkat perkara kejahatan termasuk tempat pemeriksaan sebelumnya.
Supriyadi menuturkan, Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri harus terlebih dahulu membuktikan proses awalan yakni penetapan tersangka baru penangkapan. Jika penetapan tersangka belum dilakukan namun telah menangkap, Supriyadi menilai ada kekuasaan yang lepas kontrol.
“Minimnya mekanisme kontrol dan pengawasan terhadap kewenangan penyidik dalam KUHAP membuat institusi sekelas Polisi cenderung menjadi korup dan alat politik penguasa yang efektif apabila tidak diawasi dengan baik,” ujarnya.
Sementara itu, Mabes Polri memastikan telah menangkap Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto dalam kasus sengketa pemilihan kepala daerah Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. “Baru pemeriksaan dalam rangka membuat berita acara pemeriksaan tersangka,” kata Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Ronny Franky Sompie, Jumat (23/1).
Bambang diduga melanggar Pasal 242 juncto Pasal 55 KUHP, yaitu menyuruh melakukan atau memberikan keterangan palsu di depan sidang pengadilan yaitu pengadilan Mahkamah Konstitusi. Ancaman kurang lebih tujuh tahun penjara.
Sumber: CNN Indonesia