Penghinaan dalam Rancangan KUHP: Ancaman Lama terhadap Kebebasan Berekspresi

Saat ini pemerintah telah menyelesaikan Rancangan KUHP yang telah dibahas di tim pemerintah selama 49 tahun. Rancangan KUHP yang dihasilkan oleh pemerintahpun telah disampaikan kepada DPR RI agar dapat segera membahasnya. Berdasarkan keterangan resmi yang dapat dihimpun, pada dasarnya Rancangan KUHP yang telah diserahkan oleh pemerintah ini memiliki empat tujuan yaitu dekolonisasi, demokratisiasi, konsolidasi, dan adaptasi serta harmonisasi hukum pidana

Terlepas dari tujuan mulia yang dikandung dalam Rancangan KUHP tersebut, namun masih ada persoalan mendasar yang menjadi cacat bawaan dalam Rancangan KUHP yang telah dihasilkan pemerintah tersebut. Cacat bawaan itu, mendasarkan pada catatan Aliansi Nasional Reformasi KUHP adalah pembaruan hukum pidana melalui Rancangan KUHP tersebut malah mengarah kepada terciptanya sistem politik yang represif terhadap masyarakat

ICJR juga mencatat hal yang sama, khususnya dalam konteks penghormatan dan perlindungan hak – hak dan kebebasan berekspresi dari warga Negara. Dalam catatan ICJR, Rancangan KUHP malah gagal dalam misinya untuk melakukan adaptasi terhadap Kovenan Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Kegagalan itu setidaknya terlihat dalam isu tindak pidana penghinaan, suatu isu dimana ICJR selalu mengambil inisiatif untuk melakukan perubahan kebijakan dalam konteks penghinaan dan kebebasan berekspresi.

Secara umum, terdapat kecenderungan internasional untuk melakukan dekriminalisasi terhadap penghinaan. Hal ini pula yang didorong secara khusus tidak hanya oleh Pelapor Khusus PBB tentang Kebebasan Berekspresi akan tetapi juga oleh berbagai organisasi internasional. Hal ini bisa dilihat secara baik dalam Joint Declaration yang dibuat oleh UN Special Rapporteur, the OSCE Representative on Freedom of the Media, dan the Organization of American States Special Rapporteur on Freedom of Expression yang menyatakan dengan tegas bahwa “Criminal defamation is not a justifiable restriction on freedom of expression; all criminal defamation laws should beabolished and replaced, where necessary, with appropriate civil defamation laws

Situasi ini nampaknya tidak membawa pengaruh cukup besar terhadap pemerintah dalam membentuk Rancangan KUHP ini. Alih – alih melakukan tahapan untuk mulai menerapkan dekriminalisasi penghinaan, pemerintah malah memilih untuk memperberat ancaman hukuman bagi para pelanggarnya sekaligus juga menghidupkan kembali beberapa pasal yang telah dicabut nyawanya oleh Mahkamah Konstitusi. Masalahnya tak ada alasan yang cukup kuat ditemukan mengapa terjadi fenomena memperberat ancaman pidana pada Penghinaan sekaligus juga menghidupkan kembali aturan – aturan yang telah dinyatakan inskonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi.

Dalam konteks penghinaan, kalaupun penghinaan masih mau dianggap sebagai sebuah tindak pidana, mestinya para pembentuk UU mulai berpikir untuk menghapus ancaman pidana penjara. Seruan yang seringkali disampaikan oleh UN Special Rapporteur on Freedom of Opinion and Expression menyatakan bahwa penjatuhan pidana penjara bukanlah hukuman yang sah untuk penghinaan. Selain itu, sepertinya tidak ada riset yang cukup mendalam mengenai kebijakan penjatuhan pidana dalam perkara – perkara penghinaan. Setidaknya, para pembuat Rancangan KUHP mestinya berkaca bagaimana Mahkamah Agung menjatuhkan pidana terhadap perkara – perkara pidana terkait dengan penghinaan.

Semua situasi inilah yang mendorong ICJR membuat policy paper ini, sebagai salah satu dari upaya advokasi yang dilakukan oleh ICJR dalam rangka menjamin perlindungan terhadap kebebasan berekspresi.

Mudah-mudahan, cita – cita untuk membuang penghinaan dalam KUHPidana dapat terwujud dalam pembentukan KUHPidana nasional yang baru

Unduh Policy Paper disini



Related Articles

Meninjau Kebijakan Kriminalisasi Dalam RKUHP 2015

Diskursus tentang kriminalisasi di Indonesia hampir tidak pernah menyentuh isu legitimasi dan justru mulai kehilangan arah untuk menyusun langkah-langkah yang

Joint Stakeholder’s Report Relating to the Freedom of Expression and Freedom of Association and Assembly in Indonesia

This report was prepared by a number of civil society organisations in Indonesia, namely, CIVICUS, Legal Aid Center for the

PERMEN Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif ke Digugat ke Mahkamah Agung

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), Perkumpulan Mitra

Verified by MonsterInsights