Jurnas.com | ATURAN tentang penyadapan yang saat ini dibahas DPR dan pemerintah melalui Rancangan Undang-Undang Intelijen, dinilai sangat mengkhawatirkan dan prematur. Pasalnya, semangat pengaturan tentang penyadapan tersebut bertentangan dengan perlindungan hak asasi manusia.
Untuk menghindari hal tersebut, aturan penyadapan dianjurkan dilakukan dalam sebuah undang-undang khusus, yaitu Undang-Undang Tata Cara Penyadapan. ”Pengaturan penyadapan di RUU Intelijen masih sangat prematur, sehingga masih memerlukan pengaturan yang mendetail mengenai tata cara penyadapan di dalam UU Tata Cara Penyadapan,” ujar peneliti ELSAM, Wahyudi Djafar kepada Jurnal Nasional (25/3).
Ia mengatakan, materi di dalam RUU Intelijen, khususnya terkait pengaturan penyadapan, memicu perdebatan di masyarakat. Karena itu, ia mendesak DPR untuk membuka konsultasi publik yang lebih luas, guna menyerap aspirasi yang lebih beragam dari berbagai pihak di masyarakat.
Deputi Direktur ELSAM, Zainal Abidin mengatakan, RUU Penyadapan harus mengatur beberapa hal yaitu, adanya otoritas resmi yang ditunjuk dalam Undang-Undang untuk memberikan izin penyadapan; adanya jaminan jangka waktu yang pasti dalam melakukan penyadapan; dan pembatasan penanganan materi hasil penyadapan.
Selain itu, mengatur tentang pembatasan mengenai orang yang dapat mengakses penyadapan; wewenang untuk melakukan, memerintahkan maupun meminta penyadapan; tujuan penyadapan secara spesifik; tata cara penyadapan; pengawasan terhadap penyadapan; dan penggunaan hasil penyadapan.
Seperti diketahui, RUU Intelijen yang dibahas saat ini (Pasal 31 ayat 1) memberi kewenangan penyadapan (intersepsi komunikasi) kepada lembaga intelijen negara (pengganti Badan Intelejen Negara). Penjelasan Pasal 31 (1) menyatakan, wewenang khusus melakukan intersepsi komunikasi dilakukan tanpa melalui Penetapan Ketua Pengadilan.
”Kewenangan yang hampir-hampir absolut, yang diberikan kepada lembaga intelejen negara ini, tentu sangat mengkhawatirkan bagi masyarakat, karena semangatnya yang bertentangan dengan perlindungan hak asasi manusia,” ujar Anggara Suwahju, peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).