Pada 2014, naskah rancangan qanun (raqan) kembali didorong ke DPRAceh (DPRA) oleh pemerintah Aceh dan kembali bahas di DPRA yang akhirnya disahkan DPRAh pada 27 September 2014. Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayatditetapkan efektif berlaku pada 28 September 2015.
ICJR memandang qanun tersebut memiliki masalah besar terutama dalam masalah pidana cambuk (corporal punishment). Paling tidak Ada 10 tindak pidana utama (jarimah) yang diatur dalam qanun ini (pasal 3) dan yang mencakup 46 jenis tindak pidana dan hampir semuanya memberikan ancaman pidana cambuk bagi pelakunya. Disamping itu masalah juga terletak kepada ancaman kepada pelaku yang bukan muslim.
Kritik utama ICJR terhadap ketentuan dalam qanun jinayat 2014 ini adalah terfokus di 3 hal yakni pertama, mengenai perumusan norma pidananya (multitafsir, diskriminatif, over criminalisasi, pengulangan dengan kebijakan hukum pidana nasional), yang berpotensi menyasar kelompok rentan yakni : perempuan, anak, LGBT. Kedua, berpotensi melanggar fair trial bagi tersangka dan terdakwa karena dalam prakteknya bersifat selektif, diskriminasi, dan tidak diatur dengan hukum acara yang benar dan ketiga, mengenai pemidanaannya yang bersifat merendahkan martabat manusia termasuk penggunaan corporal punishment, dalam hal ini hukuman cambuk di depan umum.
Sanksi hukuman cambuk bukanlah suatu sanksi pidana yang dikenal di Indonesia, karena Kitab Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah mengatur secara limitatif jenis sanksi pidana apa saja yang dapat dikenakan terhadap tindak pidana. Pemerintah Aceh berdasarkan UU Pemerintahan Aceh tidak memiliki kewenangan untuk menciptakan suatu bentuk sanksi pidana baru, apalagi suatu bentuk hukuman yang jauh lebih berat dari yang sudah ditetapkan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Selain itu, penggunaan hukuman cambuk merupakan langkah mudur ditengah semangat negara dalam melindungi hak asasi manusia. Hukuman cambuk tergolong hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia.Hal ini bertentangan dengan beberapa ketentuan perundangan-undangan di atas Qanun Jinayat.
Lebih jauh, beberapa ketentuan pada Qanun Jinayat merupakan duplikasi dari ketentuan yang terdapat pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Padahal, seharusnya kehadiran Qanun Jinayat adalah untuk upaya mengisi kekosongan ketentuan pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana namun dengan tidak bertentangan dengan ketentuan di atasnya. Situasi seperti ini telah menimbulkan ketidakjelasan hukum sehingga timbul anggapan bahwa “terdapat negara dalam suatu negara”.
Patut diingat, kewenangan pemerintah daerah dalam suatu gerbong otonomi khusus bukanlah bersifat absolut. Pelaksanaannyapun tidak boleh bertentangan dengan hukum nasional. Pembiaran segala bentuk ketidaktaatan terhadap hukum nasional bukan saja merupakan pelanggaran dalam bernegara tetapi juga sebagai bentuk afirmasi negara.
Oleh karena beberapa pertimbangan tersebutlah, ICJR bersama-sama dengan Solidaritas perempuan kemudian mengajukan Judicial Review terhadap Qanun tersebut.
Unduh Disini