Kisruh pernyataan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana melalui twitter tentang #advokatkorup telah memancing reaksi keras dari banyak kalangan termasuk dalam kalangan advokat. Bahkan salah seorang advokat, OC Kaligis, telah melaporkan Denny Indrayana ke Polda Metro Jaya karena menganggap Denny Indrayana telah melakukan Penghinaan sebagaimana tercantum dalam Pasal 310, 311, 315 KUHP jo Pasal 22 dan Pasal 23 UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) memandang bahwa pernyataan Wakil Menteri Hukum dan HAM adalah sebuah pernyataan politik tentang situasi gerakan anti korupsi di Indonesia yang tidak dapat dikriminalisasi apalagi dikualifikasi sebagai penghinaan. Anggara, Ketua Badan Pengurus ICJR, menyatakan bahwa untuk dapat dikenai tindak pidana penghinaan maka tuduhan tersebut harus memenuhi kualifikasi delik yaitu; (1) menuduh seseorang, (2) melakukan perbuatan tertentu, dan (3) dengan maksud agar tersiar atau diketahui banyak orang. Menurut Anggara, tak ada satupun unsur – unsur delik dalam ketentuan Penghinaan di KUHP sebagai mana disebut dalam Pasal 310, 311, dan 315 KUHP dapat terpenuhi dalam kicauan yang dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM melalui twitter tentang #advokatkorup.
Namun Anggara juga mengakui bahwa delik penghinaan di Indonesia memiliki kelemahan yaitu ketiadaan alasan pembenar yang cukup kecuali yang disebutkan dalam Pasal 310 ayat (3) KUHP. Hal ini pula yang kemudian dapat menyeret seseorang yang mengeluarkan sebuah pernyataan politik dapat terseret dalam tuntutan pidana. Ia mengingatkan bahwa (Alm) Advokat Yap Thiam Hien, juga pernah dituntut pidana karena dianggap melanggar delik penghinaan atas sebuah “pernyataan politik” yang dikeluarkannya di dalam sidang Pengadilan.
Oleh karena itu, Anggara menyatakan, karena ketiadaan alasan pembenar yang cukup dalam delik penghinaan di KUHP, maka ketentuan pidana penghinaan sudah tidak bersesuaian dengan Pasal 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No 12 Tahun 2005. Ia juga mengingatkan bahwa ketiadaan alasan pembenar yang cukup ini pula yang menyebabkan Human Rights Committe pada 26 Oktober 2011 melalui Communication No 1815/2008 menyatakan bahwa ketentuan pidana penghinaan di KUHP Filipina tidak sesuai dengan Pasal 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik.
Berdasarkan hal – hal tersebut, ICJR mendesak agar pihak kepolisian segera menghentikan penyelidikan atau penyidikan terhadap laporan tersebut karena yang dikemukakan oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM adalah sebuah pernyataan politik yang dilindungi oleh Konstitusi dan sama sekali tidak dapat dikriminalisasi. ICJR menyerukan agar Indonesia segera menghapus pidana penghinaan yang ada di Bab XVI KUHP ataupun yang ada di UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu, UU No 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik karena dapat menghambat kebebasan berpendapat yang dijamin oleh Konstitusi dan Pasal 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik.