Pada 9 Juni 2025 lalu, beberapa pemberitaan melaporkan seorang perempuan korban kekerasan seksual menjadi korban berulang saat melaporkan kasus tindak pidana kekerasan seksual yang dialaminya di Polsek Wewewa Selatan, Sumba Barat Daya (Detik, 9 Juni 2025). Peristiwa ini terjadi pada awal Maret 2025. Alih-alih mendapatkan perlindungan, korban justru mendapat kekerasan seksual berulang saat pemeriksaan atas laporannya yang dilakukan oleh polisi.
Kasus serupa pernah terjadi sebelumnya pada 2024, ketika seorang anak perempuan yang melaporkan kekerasan seksual justru dilecehkan oleh anggota polisi di Polsek Tanjungpandan, Belitung (CNN Indonesia, 18 Juli 2024). Peristiwa-peristiwa ini menunjukkan bahwa harus ada yang dipertanyakan dalam aturan maupun penerapannya, mengapa polisi dapat dengan mudah menyalahgunakan kewenangannya, di saat ia harusnya memberikan perlindungan.
ICJR sedari lama mencermati, bahwa tidak akuntabelnya penyelidikan dan penyidikan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia membuka ruang penyalahgunaan kewenangan oleh polisi yang terus berulang. Impunitas terhadap aparat terus dilanggengkan salah satunya dikarenakan KUHAP yang saat ini sama sekali tidak menjamin akuntabilitas Penyelidikan dan Penyidikan tersebut.
Selain lemahnya akuntabilitas kepolisian, ICJR juga mencatat bahwa KUHAP saat ini belum menjamin adanya pendamping untuk korban sepanjang tahapan pemeriksaan, baik oleh advokat maupun pendamping lainnya, khususnya dalam kasus kekerasan seksual. Tidak ada jaminan bahwa korban harus didampingi dan negara harus menyediakan pendampingan tersebut. Akibatnya, korban kekerasan seksual yang menjalani proses hukum tanpa didampingi penasihat hukum atau pendamping lain akan sulit memahami prosedur dan memastikan hak-hak serta perlindungan mereka terpenuhi, termasuk bebas dari pelecehan dan kekerasan yang dilakukan oleh aparat.
Di sisi lain, perihal pemeriksaan korban justru ditemukan dalam peraturan internal kepolisian yaitu Peraturan Kapolri Nomor 3 Tahun 2008 tentang Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana. Peraturan ini pada dasarnya mengamanatkan agar korban, termasuk korban tindak pidana kekerasan seksual, untuk dilakukan pemeriksaan di ruang pelayanan khusus yang berada di bawah Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA) di lingkungan kepolisian. Pengadaan ruang pelayanan khusus penting untuk memberikan ruang aman dan nyaman bagi korban perempuan dan anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Namun dalam implementasinya hal ini masih tidak terpenuhi.
ICJR menyoroti peran penting Unit PPA kepolisian dalam tahap pemeriksaan korban kekerasan seksual, bahwa ketika pemeriksaan dilakukan maka Unit PPA harus memastikan hak korban untuk memperoleh pendampingan hukum atau pendamping lainnya terpenuhi. Unit PPA juga dapat menyalurkan korban ke Lembaga Bantuan Hukum yang dapat memberikan pendampingan hukum secara cuma-cuma. Sayangnya, komitmen pemerintah untuk membentuk Unit PPA di setiap tingkatan kepolisian masih dipertanyakan, sebab Komnas Perempuan mencatat bahwa setidaknya baru terdapat 528 Unit PPA di berbagai tingkatan kepolisian (ANTARA, 19 April 2024). Jumlah ini masih jauh dari yang diharapkan jika ingin perlindungan terhadap korban, utamanya perempuan dan anak, benar-benar terwujud.
Tidak hanya dari sisi fasilitas, minimnya kesadaran aparat penegak hukum tentang perspektif gender juga sangat berpotensi menyebabkan reviktimisasi pada korban. Terlebih, unsur relasi kuasa antara polisi dengan korban semakin membuka ruang pelanggaran hak asasi, termasuk dalam penanganan kasus-kasus kekerasan seksual.
Dengan kondisi yang ada, ICJR mendorong agar revisi KUHAP serius merespons perlindungan hak-hak korban. Rumusan KUHAP ke depan harus menjangkau hak korban perempuan untuk mendapat pendampingan advokat dan pendamping lainnya di setiap tingkatan pemeriksaan. KUHAP juga harus menjamin pemeriksaan korban perempuan di kepolisian ditangani secara khusus oleh Unit PPA atau jika belum terbentuk, setidak-tidaknya oleh polisi wanita atau polisi yang telah mendapat pelatihan penanganan kasus berperspektif gender, yang dilakukan di ruang pelayanan khusus.
Ruang komplain bagi korban juga krusial untuk disediakan. ICJR menekankan bahwa, pelanggaran prosedural termasuk pelecahan dalam proses Penyelidikan dan Penyidikan, sama sekali belum menjadi objek pemeriksaan yudisial (saat ini praperadilan). Ruang komplain hanya melaporkan polisi secara pidana, yang kembali bergantung pada kemauan polisi untuk memprosesnya. Tidak ada otoritas lain selain polisi yang mengusut dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh polisi.
Oleh karena itu, ICJR mendorong agar ketentuan perihal perlindungan hak korban perempuan diatur secara komprehensif dalam revisi KUHAP, dengan menjamin seluruh orang yang diperiksa harus didampingi pendamping advokat ataupun pendamping lainnya, yang harus disediakan negara. Dalam revisi KUHAP, ruang komplain kepada otoritas yudisial untuk pengawasan berjenjang dan check and balances harus diperkenalkan untuk mendorong akuntabilitas kepolisian dalam penyelidikan dan penyidikan.
Berdasarkan hal-hal di atas, ICJR juga menyerukan dalam RUU KUHAP, harus juga memuat:
- Jaminan pendamping bagi korban yang diperiksa dalam peradilan pidana dan pengawasan pengadilan atas Penyelidikan dan Penyidikan;
- Pengawasan Pengadilan atas Penyelidikan dan Penyidikan dengan adanya fungsi hakim komisaris/hakim pemeriksa pendahuluan, yang salah satu kewenangannya menerima setiap komplain dalam pelaksaan peradilan pidana, termasuk komplain atas kekerasan dan pelecehan seksual yang dialami korban dalam proses hukum.
Jakarta, 13 Juni 2025
Hormat Kami
ICJR