Penyidik Kepolisian Resor (Polres) Gowa, Sulawesi Selatan, menetapkan pasangan suami istri, NH (26) dan RI (31) sebagai tersangka setelah adanya laporan dari salah satu organisasi masyarakat (ormas) lantaran dinilai menyebarkan berita bohong. Pasutri tersebut dituduh melanggar pasal Pasal 14 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1946 dan atau Pasal 45 A ayat 2 jo. 28 ayat 2 UU 19 Tahun 2016 perubahan UU 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Kasus ini bermula, pada Juli 2021 lalu, saat NH dan RI selaku pemilik salah satu kafe di Gowa, Sulawesi Selatan menjadi korban penganiayaan anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Video dugaan penganiayaan itu menjadi viral di media sosial. Aksi anggota Satpol PP tersebut menjadi perbincangan, apalagi kala itu korban mengaku sedang hamil.
ICJR menilai bahwa apa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, dalam hal ini penyidik Polres Gowa, dengan menetapkan keduanya sebagai tersangka tidak berdasar, karena:
Pertama, Penyidik Polres Gowa seharusnya memahami konstruksi kasus yang terjadi. Dalam video yang viral terkait peristiwa tersebut, terlihat bahwa ada penganiayaan yang dilakukan oleh anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Gowa. Bahkan Kepolisian Polres Gowa telah menetapkan anggota satpol PP yang melakukan penganiayaan tersebut sebagai tersangka penganiayaan. Maka yang perlu ditekankan penanganan perkara adalah kasus ini, dengan mengupayakan pemulihan korban.
Kedua, terkait pasal yang digunakan oleh penyidik, pasal mengenai berita bohong yang tertuang dalam pasal 14 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1946 tidak dapat terpenuhi berdasarkan rangkain perbuatan yang ada. Dalam menggunakan pasal-pasal berita bohong, ICJR menegaskan bahwa terdapat beberapa unsur yang harus dipenuhi, yaitu pertama, adanya niat dengan sengaja untuk menimbulkan keonaran di kalangan rakyat dengan berita bohong. Dan kedua adanya keonaran di tengah masyarakat.
Melihat dari fakta kejadian, terlihat bahwa informasi kehamilan disampaikan dalam kondisi membela diri untuk tidak dianiaya oleh oknum Satpol PP. Dengan begitu maka mens rea atau niat jahatnya tidak ada, sehingga perbuatan tersebut tidak dapat disebut sebagai perbuatan pidana. Selain itu, berdasarkan penjelasan Pasal 14 UU No. 1 tahun 1946, keonaran yang dimaksudkan di dalam pasal tersebut adalah lebih hebat daripada kegelisahan dan menggoncangkan hati penduduk yang tidak sedikit jumlahnya, artinya sekedar berita viral tidak dapat dijadikan legitimasi adanya keonaran..
Ketiga, penggunaan pasal 45 A ayat 2 jo. 28 ayat 2 UU ITE jelas bukan merupakan bentuk ketidakcermatan penyidik dalam menetapkan pasal yang akan digunakan menjerat tersangka. Pasal 45 A ayat 2 jo. 28 ayat 2 UU ITE ditujukan bagi setiap orang yang menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). ICJR menilai bahwa dalam perbuatan yang dilakukan oleh para tersangka, tidak ada satupun perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan untuk membenci atau memusuhi suatu golongan. Penyidik seperti memaksakan adanya penggunaan pasal UU ITE dalam kasus ini.
Atas hal-hal tersebut, maka seharusnya Kepolisian berhati-hati, tidak perlu secara represif dan eksesif dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka. Kasus ini terlihat seperti dipaksakan dan akan merusak citra Polisi yang saat ini mendapatkan banyak kritik dan tanda tanya di masyarakat. Untuk itu ICJR meminta agar Kapolri memberikan perhatian pada tindakan dari anggotanya di Polres Gowa. Dan dengan begitu, Polres Gowa selaku penyidik dalam hal ini harus segera menghentikan perkara ini, fokus pada permasalahan pidana yang penting diusut yaitu penganiayaan yang terjadi pada pasutri tersebut.
Jakarta, 19 November 2021
Hormat Kami,
ICJR
CP: Sustira Dirga (Peneliti ICJR)