Dalam pertemuan dengan 6 jurnalis senior yang juga pimpinan redaksi media nasional, pada bahasan tentang hukuman bagi tindak pidana korupsi, Presiden menyatakan dirinya anti pidana mati dikarenakan pidana mati bersifat tidak dapat dikembalikan jika ada kesalahan. Ia juga menyampaikan bahwa sekalipun proses hukum telah benar 99%, maka tetap akan ada 1% kesalahan yang mungkin terjadi. Hal ini adalah pernyataan yang sejalan dengan pandangan ICJR yang menolak segala bentuk pidana mati, dengan salah satu alasannya, bahwa kesalahan proses peradilan akan selalu mungkin terjadi. Untuk itu, ICJR menyerukan pandangan presiden ini harus terejawantahkan pada seluruh kebijakan hukum di Indonesia.
Saat ini, Pemerintah sedang menyusun Revisi UU Narkotika. Sesuai dengan laporan tahunan pelaksanaan pidana mati di Indonesia oleh ICJR, bahwa sepanjang 2023, 89% tuntutan dan putusan pidana mati berasal dari kebijakan narkotika. Selain itu, 69% terpidana mati dalam deret tunggu eksekusi pidana mati juga berasal dari kebijakan narkotika (ICJR, 2024).
Dalam berbagai penelitian ICJR juga menemukan bahwa terdapat pelanggaran hak atas peradilan yang adil bagi kasus pidana mati, utamanya dari kasus narkotika. Klaim penyiksaan terbanyak berasal dari kasus narkotika.
Jika kemudian Presiden menyatakan pidana mati tidak dapat dilaksanakan karena masih akan selalu ada potensi kesalahan, maka dalam pembahasan revisi UU Narkotika, Presiden harus memerintahkan untuk menghapus 7 ancaman pidana mati dalam UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika saat ini. Presiden juga dapat menyegerakan penghapusan pidana mati, dengan mempercepat pengubahan hukuman (komutasi) pidana mati bagi paling tidak 110 orang yang sudah dalam deret tunggu pidana mati lebih dari 10 tahun (ICJR, 2024).
Presiden dalam wawancara tersebut juga menyatakan perhatiannya pada kebijakan narkotika. Ia menyatakan: “Narkoba harus kita perangi, sangat berbahaya untuk anak-anak kita, cucu-cucu kita”. ICJR mengingatkan bahwa semangat menyelamatkan anak cucu bangsa tidak sejalan dengan pendekatan perang terhadap narkotika. Justru perang terhadap narkotika lah yang menjadikan terjadinya peningkatan penggunaan pidana mati di Indonesia, hukuman yang justru ditentang oleh Presiden Prabowo.
Eksekusi pidana mati meningkat tajam ketika presiden sebelumnya Joko Widodo, mendeklarasikan perang terhadap narkotika. 18 orang dieksekusi mati oleh Jokowi, seluruhnya dari kasus narkotika. Tak hanya melalui proses hukum, pada masa Jokowi juga dilakukan pembunuhan di luar proses hukum pada dugaan kasus narkotika. Berdasarkan data LBH Masyarakat, sepanjang tahun 2017 terdapat 183 kasus tembak di tempat terhadap terduga pelaku tindak pidana narkotika, dengan total korban sebanyak 215 orang, yakni 99 korban meninggal dunia dan 116 korban luka-luka, karena seruan perang terhadap narkotika.
ICJR juga mengingatkan dengan pendekatan perang yang seolah melegalkan penggunaan pidana mati untuk kasus narkotika sama sekali tidak sejalan dengan komitmen global tentang kebijakan kontrol terhadap narkotika. Pada Komentar Umum 36 (2018) tentang Pasal 6 Hak untuk Hidup dalam ICCPR, telah dijelaskan bahwa tindak pidana narkotika bukan masuk ke dalam kategori the most serious crime yang boleh dikecualikan terbatas untuk menggunakan pidana mati. Selain itu, UNODC juga telah menyatakan 3 kebijakan global tentang kontrol terhadap narkotika sama sekali tidak menjustifikasi penggunaan pidana mati pada sistem hukum di negara-negara peserta konvensi kontrol terhadap narkotika.
ICJR menekankan bahwa narasi perang terhadap narkotika (War on Drugs) adalah pendekatan usang yang musti ditinggalkan. Kebijakan tersebut justru melanggengkan peredaran gelap narkotika tanpa control demand, serta melahirkan aparat penegak hukum yang koruptif. Hal tersebut tercermin semasa pemerintahan Jokowi, dimana kebijakan war on drugs terbukti gagal dalam mengurangi peredaran narkotika di Indonesia.
Adanya kebijakan tersebut berdampak terhadap tetap tingginya angka pengguna narkotika sebesar 3.6 juta dengan angka prevalensi mencapai 1,95% (Data BNN 2023). Namun justru pengguna narkotika tersebut malah dikirim ke rutan dan lapas yang mengakibatkan overcrowding di rutan dan lapas di Indonesia, yang menyebabkan beban lapas mencapai lebih dari 220%, dengan mayoritas penghuni berasal dari kasus narkotika.
Selain itu, berbagai laporan juga membuktikan terjadi pemerasan kepada pengguna narkotika oleh aparat penegak hukum untuk mendapatkan rehabilitasi, fasilitas yang layak dalam proses hukum, bahkan untuk keluar dari proses hukum seperti yang terjadi di awal tahun 2025, Warga Negara Malaysia diperas oleh sejumlah polisi atas dugaan menjadi pengguna narkotika.
Jika Presiden berkomitmen untuk menyalamatkan anak bangsa dari dampak buruk narkotika, maka pikirkan juga dampak buruk yang terjadi dari kebijakan yang salah. Hal ini terjadi saat ini, karena kesalahan kebijakan, pengguna dikirim ke penjara, peredaran gelap direspons dengan pidana mati yang tidak bekerja, justru malah memperburuk citra Indonesia secara global, aparat koruptif justru mengambil keuntungan dengan memperjualbelikan kegamangan kebijakan bagi pengguna narkotika: apakah direspons kesehatan atau dihukum.
Upaya memperbaiki kesalahan kebijakan perlu dijalankan dengan dekriminalisasi bagi pengguna narkotika, yaitu menghilangkan respons penghukuman bagi pengguna narkotika. Upaya dekriminalisasi pengguna narkotika sedang disusun oleh Pemerintah, memastikan pengguna narkotika yang ditandai dengan penguasaan narkotika dalam batas tertentu (threshold) akan direspons secara ajeg dengan pendekatan kesehatan, bukan penghukuman. Tidak ada lagi dual approach bagi pengguna narkotika yang berdampak diperdagangkannya akses terhadap kesehatan bagi pengguna narkotika.
Maka, ICJR menyerukan:
- Presiden harus berkomitmen untuk hapuskan pidana mati dalam proses revisi UU Narkotika;
- Presiden harus mendukung dekriminalisasi pengguna narkotika. Dudukkan kembali bahwa pengguna narkotika harus direspon dengan pendekatan kesehatan, bukan penegakan hukum punitif yang justru menjadi koruptif.
Jakarta, 9 April 2025
Hormat Kami,
ICJR