JAKARTA, KOMPAS.com — Sejumlah kalangan mempertanyakan putusan Mahkamah Agung yang menghukum Pemimpin Redaksi Majalah Playboy Indonesia Erwin Arnada dua tahun penjara. Mereka mengajukan amicus curiae atau komentar tertulis atas putusan itu kepada MA.
“MA keliru mendefinisikan standar kesusilaan karena mereka menggunakan standar kelompok masyarakat dan agama tertentu, bukan UU Pers,” kata Anggara, Senior Associate Insitute for Criminal Justice Reform (ICJR) Indonesia, dalam konferensi pers di Galeri Kafe, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta, Rabu (19/1/2011).
ICJR adalah salah satu lembaga yang mempersoalkan putusan MA tersebut. Lembaga lain adalah Indonesia Media Defense Litigation Network (IMDLN) dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam).
Keberatan mereka adalah apakah MA tepat menggunakan standar agama sebagai tolok ukur menilai kasus Erwin Arnada dihukum karena melanggar kesusilaan.
Menurut mereka, norma-norma, selain hukum negara, memiliki standar berbeda satu sama lain sehingga tidak bisa dijadikan parameter untuk memandang suatu perbuatan termasuk kesusilaan. “Harusnya MA menjatuhkan putusan berdasarkan UU Pers, bukan karena desakan dari kelompok masyarakat tertentu,” kata Zainal Abidin, Sekretaris IMDLN.
Berdasarkan Pasal 1 Angka 2 jo Pasal 9 Ayat (2) UU No 40/1999 tentang Pers, majalah Playboy Indonesia telah memenuhi ketentuan dan dapat dikategorikan sebagai produk pers.