[RILIS KOALISI] MoU Penyadapan Kejaksaan Agung dan Operator Telekomunikasi Ancam Hak Atas Privasi Warga

Pada 24 Juni 2025 lalu, Kejaksaan Agung melalui Jaksa Agung Muda Intelijen, telah melakukan penandatanganan kesepakatan dengan sejumlah operator layanan telekomunikasi. Kesepakatan ini berfokus pada pertukaran dan pemanfaatan data dan/atau informasi dalam rangka penegakan hukum, termasuk pemasangan dan pengoperasian perangkat penyadapan informasi serta penyediaan rekaman informasi telekomunikasi. Kejagung menyatakan kerja sama ini disandarkan pada Pasal 30 B UU No. 11/2021 tentang Perubahan UU No. 16/2004 tentang Kejaksaan, berkaitan dengan wewenang kejaksaan di bidang intelijen penegakan hukum. Namun demikian, kerja sama jelas telah menjadi ancaman nyata terhadap perlindungan hak atas privasi warga negara, sebagaimana dijamin Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Selain itu, Pasal 30C UU No. 11/2021 sendiri sebenarnya telah memberikan batasan yang tegas dan limitatif, terkait penggunaan wewenang penyadapan ini, yang harus didasarkan pada undang-undang khusus yang mengatur mengenai penyadapan, dan hanya yang terkait dengan penanganan tindak pidana.

Larangan untuk melakukan penyadapan sewenang-wenang ditegaskan Pasal 40 UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, yang menyatakan, “Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun”. Artinya tanpa memenuhi sejumlah persyaratan dan prosedur, tindakan penyadapan yang melibatkan operator telekomunikasi, dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran hukum. Praktik penyadapan hanya dimungkinkan dilakukan secara lawful, dengan alasan keamanan nasional atau penegakan hukum, sepanjang memenuhi kaidah dan prinsip pembatasan (permissible restriction). Sedangkan materi MoU antara Kejakgung dan operator telekomunikasi, tidak secara ketat mengatur mengenai durasi atau jangka waktu dilakukannya tindakan penyadapan atau bentuk surveillance lainnya, maupun otorisasi atau proses perijinan dalam melakukan tindakan tersebut. Suatu tindakan penyadapan hanya dibolehkan (lawful) bilamana memenuhi bebepara pra-syarat berikut: (i) adanya otoritas resmi yang ditunjuk oleh Undang-Undang untuk memberikan izin penyadapan (biasanya Ketua Pengadilan), (ii) adanya jaminan jangka waktu yang pasti dalam melakukan penyadapan, (iii) pembatasan penanganan materi hasil penyadapan, dan (iv) pembatasan mengenai orang yang dapat mengakses penyadapan.

Lebih jauh, mencermati MoU antara Kejakgung dan operator telekomunikasi juga memunculkan sejumlah kerancuan dan tanda tanya, berkaitan dengan lingkup penyadapan yang dilakukan, apakah dalam kerangka intelijen negara atau penegakan hukum? Mengingat intelijen kejaksaan juga merupakan bagian dari intelijen negara, sebagaimana diatur UU No. 17/2011 tentang Intelijen Negara. Pun dalam konteks intelijen negara, dalam melakukan penyadapan harus tunduk pada sejumlah batasan dan prosedur, mengacu pada Pasal 32 UU Intelijen Negera, dan bahkan ditegaskan ketika akan digunakan sebagai bukti di pengadilan, harus dilakukan dengan ijin Ketua Pengadilan Negeri.

Apalagi dalam konteks penegakan hukum, tindakan penyadapan hanya dapat dilakukan atas perintah hakim dan berdasarkan kasus-per-kasus, sebagaimana ditegaskan Pasal 32 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang sefanas dengan jaminan Pasal 17 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (UU No. 12/2005). Bahkan Komentar Umum No. 16 yang menjelaskan ruang lingkup Pasal 17 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, pada point 8 secara tegas menyatakan, “… bahwa integritas dan kerahasiaan korespondensi harus dijamin secara de jure dan de facto. Korespondensi harus diantarkan ke alamat yang dituju tanpa halangan dan tanpa dibuka atau dibaca terlebih dahulu. Pengintaian (surveillance), baik secara elektronik maupun lainnya, penyadapan telepon, telegraf, dan bentuk-bentuk komunikasi lainnya, serta perekaman pembicaraan harus dilarang”.

Memastikan adanya safeguard dalam setiap tindakan penyadapan atau intersepsi komunikasi penting ditegaskan, mengingat besarnya risiko dan dampak yang potensial terjadi sebagai akibat dari tindakan penyadapan yang sewenang-wenang atau melawan hukum (unlawful interception). Martin Scheinin (Mantan Pelapor Khusus PBB untuk Pemberantasan Terorisme, 2009) mengingatkan, tren penggunaan surveillance atas nama keamanan nasional dan penehakan hukum, secara sistematik dan massif telah menimbulkan sejumlah efek samping, termasuk: (a) timbulnya ketakutan yang luar biasa (chilling effect) terhadap penikmatan kebebasan berekspresi dan berpendapat, (b) terancamnya hak untuk berserikat dan berkumpul, (c) tidak bebasnya seseorang berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, dan (d) berpeluang besar menimbulkan miscarriage of justice, sekaligus berakibat bagi pelanggaran terhadap suatu sistem peradilan yang adil. Hal ini juga ditegaskan oleh Komite HAM PBB (Komite Sipil dan Politik) yang dilakukan oleh PBB dengan Pemerintah Indonesia pada bulan Mei 2025 yang lalu.

Oleh karena itu, Scheinin menekankan lima prinsip penting yang harus menjadi dasar dalam pembentukan regulasi pemberantasan terorisme yang bertalian dengan limitasi terhadap hak atas privasi seseorang, yaitu: (i) Prinsip campur-tangan yang minimal (minimum intrusiveness); (ii) Prinsip penggunaan data-data pribadi secara terbatas; (iii) Prinsip pengawasan dan pengaturan terhadap pengaksesan data pribadi; (iv) Prinsip keterbukaan dan kejujuran atau integritas; dan (v) Prinsip modernisasi secara efektif.

Dalam konteks hukum Indonesia, situasinya menjadi lebih menantang dikarenakan tidak adanya kepastian hukum penyadapan, mengingat sampai dengan saat ini setidaknya terdapat 12 undang-undang yang memberikan kewenangan pengawasan bagi institusi keamanan, intelijen, dan penegak hukum, dengan batas kewenangan dan prosedur yang berbeda-beda. Disahkannya UU No. 27/2022 tentang Pelindungan Data Pribadi justru menambah tantangan baru terkait risiko kontrol institusi keamanan, intelijen, dan penegak hukum terhadap warga negara. Hal tersebut mengingat adanya pengecualian yang luas terhadap kepatuhan perlindungan data pribadi, khususnya bagi aparatur negara, dengan alasan pertahanan dan keamanan negara, penegakan hukum, dan kepentingan umum dalam penyelenggaraan negara.

Sayangnya, merespons situasi tersebut, perintah Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK No. 5/PUU-VIII/2010 untuk membentuk undang-undang khusus tentang penyadapan, sejak 15 tahun lalu, belum ditindaklanjuti oleh Presiden dan DPR. Dalam ratio decidendy putusan tersebut, MK menyatakan bahwa penyadapan merupakan sebuah tindakan yang melanggar privasi orang lain dan oleh karenanya melanggar hak asasi manusia (HAM), akan tetapi untuk kepentingan nasional yang lebih luas, seperti halnya penegakan hukum, hak tersebut dapat disimpangi dengan pembatasan. Dikarenakan intersepsi merupakan salah satu bentuk pembatasan hak asasi seseorang, maka pengaturannya harus dilakukan dengan undang-undang, guna memastikan adanya keterbukaan dan legalitas dari penyadapan itu sendiri. Lebih lanjut, menyikapi situasi di atas, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak:

  1. Kejaksaan Agung menimbang untuk segera membatalkan nota kesepakatan terkait penyadapan dengan operator telekomunikasi, dikarenakan MoU tersebut secara eksplisit bertentangan dengan Pasal 40 UU No. 36/1999 tentang Telekomunikasi. Sementara secara hukum, syarat sah suatu perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata, salah satuanya adalah adanya causa yang halal, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
  2. Kejaksaan Agung dalam penggunaan wewenang penyadapan, untuk memastikan kepatuhan terhadap seluruh peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penyadapan, guna menjamin perlindungan hak atas privasi warga negara, dan menghindari tindakan penyadapan sewenang-wenang (arbitrary surveillance).
  3. Operator telekomunikasi harus memastikan kepatuhannya terhadap UU Telekomunikasi, terkait dengan larangan penyadapan, yang juga merupakan bagian dari komitmen perlindungan terhadap konsumen mereka, untuk melindungi privasi konsumen.
  4. Presiden dan DPR penting untuk menyegerakan proses pembahasan RUU tentang Penyadapan, untuk menjamin adanya kepastikan hukum penyadapan, selain juga secara jelas merumuskan pengaturan mengenai prosedur penyadpaan dalam penanganan tindak pidana dalam materi revisi UU Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Jakarta, 26 Juni 2025

Hormat Kami,

Koalisi Masyarakat Sipil
(Raksha Initiatives, Dejure, Centra Initiative, Imparsial, HRWG, ELSAM, ICJR)

Related Posts

  • 15 for Justice
  • Advokasi RUU
  • Dokumen Hukum
  • English
  • ICLU
  • Kegiatan
  • Law Strip
  • Media Center
  • Mitra Reformasi
  • Pengadaan
  • Publikasi
  • Rilis Pers
  • Special Project
    •   Back
    • Reformasi Defamasi
    • #diktum
    • Anotasi Putusan
    • Penyiksaan
    • Strategic Litigation
    • RKUHAP
    • Putusan Penting
    • advokasi RUU
    • Advokasi RUU
    • Resources
    • Cases
    • Other Jurisdiction Cases
    • Civil
    • Criminal
    • Media
    • National
    • Public
    • IT Related
    • Torture Cases
    • Torture Resources
    • Laws and Regulation
    • Law Enforcer
    • Survivor
    • Weekly Updates
    • RUU Polri
    • RUU TNI
    •   Back
    • Resources
    • Cases
    • Other Jurisdiction Cases
    • Civil
    • Criminal
    • Media
    • National
    • Public
    • IT Related
    •   Back
    • Civil
    • Criminal
    • Media
    • National
    • Public
    • IT Related
    •   Back
    • Kabar ICJR
    • ICJR di Media
    •   Back
    • Penetapan Presiden
    • Peraturan Menteri
    • Peraturan Pemerintah
    • Surat Edaran
    • Surat Keputusan Bersama
    • Keputusan DitJen PAS
    • Keputusan Menteri
    • Keputusan Presiden
    •   Back
    • Law Enforcer
    • Survivor
    •   Back
    • Torture Cases
    • Torture Resources
    • Laws and Regulation
    • Law Enforcer
    • Survivor
    •   Back
    • Peraturan Mengenai Trafficking
    • Perlindungan Saksi dan Korban
    • Rancangan KUHAP
    • Pemasyarakatan
    • Rancangan KUHP
    • Penetapan Presiden
    • Peraturan Menteri
    • Peraturan Pemerintah
    • Surat Edaran
    • Surat Keputusan Bersama
    • Keputusan DitJen PAS
    • Keputusan Menteri
    • Keputusan Presiden
    •   Back
    • Peraturan
    • Peraturan Mengenai Trafficking
    • Perlindungan Saksi dan Korban
    • Rancangan KUHAP
    • Pemasyarakatan
    • Rancangan KUHP
    • Penetapan Presiden
    • Peraturan Menteri
    • Peraturan Pemerintah
    • Surat Edaran
    • Surat Keputusan Bersama
    • Keputusan DitJen PAS
    • Keputusan Menteri
    • Keputusan Presiden
    •   Back
    • RUU Polri
    • RUU TNI
    •   Back
    • Weekly Updates
Load More

End of Content.

Copyright © 2024 Gogoho Indonesia | Powered by Gogoho Indonesia

Scroll to Top