Prabowo Subianto memberikan tanggapan terkait Rancangan Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia (RUU Polri) yang prosesnya terkesan gelap karena tidak ada partisipasi publik yang bermakna dan RUU Polri ini bertujuan untuk memperluas kewenangan aparat kepolisian. Tanggapan tersebut disampaikan Prabowo dalam wawancara terbatas yang diadakan dengan enam jurnalis senior di Hambalang (06/04/2024).
Dalam jawabannya tentang pengawasan institusi Kepolisian, Prabowo menjawab pengawasan terhadap Polri dapat mengandalkan Kompolnas. Hal ini memperlihatkan bahwa beliau tidak sungguh mengerti fungsi Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan tidak menangkap masalah serius pada institusi Polri saat ini yaitu soal lemahnya pengawasan dan akuntabilitas.
Pertama-tama, Kompolnas bukan lembaga pengawas eksternal melainkan lembaga kuasa eksekutif yang memiliki fungsi terbatas membantu memberikan pertimbangan kepada presiden dalam kebijakan kepolisian. Sedangkan mengenai pengawasan internal, Divisi Profesi dan Pengamanan (Divpropam) Polri tidak bisa menjadi harapan untuk mengawasi penyimpangan, pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan oleh anggotanya (police misconduct), dikarenakan adanya potensi konflik kepentingan dan relasi kuasa yang ada pada tubuh institusi ini. Hal ini menyebabkan absennya pengawasan dan penindakan efektif tidak menimbulkan efek jera (deterrent effect) terhadap polisi pelanggar sehingga berpotensi menimbulkan impunitas Kepolisian.
Padahal di sisi lain, Prabowo meyakini bahwa kewenangan yang absolut pasti korup, atau dalam istilah populernya dikatakan “Absolute Power, Corrupt Absolutely”. Namun alih-alih memperkuat sistem pengawasan, kecenderungan pembuat kebijakan saat ini terlihat malah hanya fokus pada bagian memperbesar kewenangan polisi.
Potensi penambahan kewenangan kepolisian saat ini tidak hanya dimuat dalam RUU Polri, dalam konteks peradilan pidana kewenangan kepolisian juga akan ditambah dalam draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Sebagai contoh, dalam Pasal 90 ayat (2) RUU KUHAP yang menyebutkan penangkapan dapat dilakukan dalam waktu yang tidak terbatas pada keadaan tertentu.
Pada bagian penjelasan pasal tersebut kemudian disebutkan salah satu contoh keadaan tertentu yakni jika jarak antara tempat Tersangka ditangkap dengan kantor Penyidik terdekat memiliki waktu tempuh lebih dari 1 (satu) Hari. Dalam hal ini, tidak ada jaminan bahwa pembatasan akan tetap berlaku dalam praktik. Kasus penangkapan yang berpotensi melanggar HAM sulit dicegah, terutama karena RUU KUHAP ini tidak mengatur kewajiban menghadapkan tersangka secara fisik ke hadapan hakim. Standar HAM internasional menetapkan bahwa penangkapan hanya dapat dilakukan selama 48 jam, setelah itu tersangka harus dihadapkan kepada hakim untuk menilai keabsahan penangkapan dan kebutuhan penahanan.
Lebih lanjut, terdapat beberapa pasal bermasalah lainnya dalam RUU KUHAP seperti Pasal 16 yang mengatur terkait kewenangan melakukan teknik investigasi khusus, sebelumnya secara detail hal ini diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana (Perkap Nomor 6 Tahun 2019). Peraturan ini memberikan kewenangan pada tahap penyelidikan, meskipun saat itu peristiwa pidana belum dapat dipastikan. Dengan adanya kewenangan ini di tahap penyelidikan, yang tidak diawasi oleh lembaga lain, risiko penjebakan menjadi sangat tinggi. Dalam banyak kasus narkotika, penjebakan melalui kewenangan ini telah sering terjadi. Seseorang dapat membeli barang tertentu tanpa menyadari bahwa barang yang diterimanya adalah narkotika, dan kemudian dituduh terlibat jaringan peredaran gelap narkotika.
Bahwa pada kesimpulannya, dalam konteks hukum acara pidana untuk mencegah kesewenang-wenangan polisi dalam melakukan tugasnya hingga saat ini belum ada pengawasan yang efektif. Kedepannya perlu ada pengawasan dari lembaga yang independen dan imparsial, salah satunya ialah pengawasan yudisial (judicial scrutiny) oleh lembaga pengadilan, khususnya terhadap kewenangan penyidikan dan pelaksanaan upaya paksa.
Pada bagian yang lain, pada periode tahun 2023 dan 2024, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat Polri sebagai pemuncak klasemen institusi yang paling sering diadukan terkait dugaan pelanggaran HAM. Hal ini mencerminkan bahwa sebagai institusi Polri seringkali menunjukan “abuse of power”, terlihat dalam beberapa kasus yang melibatkan anggota kepolisian, seperti kasus kekerasan seksual oleh polisi, korupsi dan kasus-kasus kekerasan. Oleh karenanya, sebenarnya apa yang didengungkan oleh Prabowo faktanya telah terkonfirmasi bahwa kewenangan polisi yang terlampau besar saat ini terbukti banyak disalahgunakan.
Maka dari itu, kami merekomendasikan:
- Agenda Reformasi Polri melalui RUU Polri yang memprioritaskan penguatan mekanisme pengawasan (oversight mechanism) dan mencegah penambahan kewenangan yang berpotensi menjadikannya institusi “superbody”;
- Dalam proses legislasi di DPR yang berjalan saat ini yakni RUU KUHAP harus ada jaminan bahwa penangkapan dan penahanan hanya dapat dilakukan berdasakan izin pengadilan, serta seluruh upaya paksa dan tindakan lain sebelum persidangan dapat diuji ke pengadilan dalam mekanisme keberatan dengan mekanisme pemeriksaan yang substansial.
Jakarta, 11 April 2025
Hormat Kami,
ICJR