GRESNEWS.COM – Alat sadap itu ibarat pedang bermata dua. Bisa digunakan oleh orang baik untuk menangkap penjahat, bisa juga dipakai orang jahat untuk menjebak orang baik. Sebelum telanjur ngawur, penggunaannya perlu diatur.
“Dalam sebuah acara hearing dengan Dewan Perwakilan Rakyat, PT Telkom pernah mengeluhkan banyaknya instansi yang mengajukan permintaan penyadapan, dengan berbagai alasan,” cerita Anggara, Ketua Badan Pengurus Institute for Criminal Justice Reform.
Tak tanggung-tanggung, sambung Anggara, jumlah institusi yang mengajukan permintaan itu jumlahnya bisa puluhan. “Artinya, keseharian kita sebenarnya begitu rentan untuk dimata-matai. Jangan-jangan, sekarang pun kita sedang disadap,” canda Anggara kepada Gresnews.com lewat sambungan telepon, Kamis siang (21/3).
Itu makanya, Anggara dan ICJR-nya menganggap, Pasal 83 dan Pasal 84 tentang penyadapan dalam Rancangan KUHAP yang kini tengah dibahas Gedung Parlemen harus dibuat detail. “Kalau perlu, buatkan Undang-Undang tersendiri,” tuturnya.
Dalam rilis yang diterima Gresnews.com, Anggara melihat ada beberapa kelemahan mendasar pasal-pasal tersebut, terutama menyangkut: (1) wewenang untuk melakukan, memerintahkan, maupun meminta penyadapan, (2) tujuan penyadapan secara spesifik, (3) kategori subjek hukum yang diberi wewenang menyadap, (4) adanya izin dari atasan, atau izin hakim sebelum menyadap, (5) tata cara penyadapan, (6) pengawasan terhadap penyadapan, dan (7) penggunaan hasil penyadapan.
“Kami khawatir, jika tidak dibahas detail, nantinya penggunaan alat sadap di instansi-instansi itu jadi tak terkendali. Ini bisa mengganggu masyarakat,” Anggara menambahkan.
Di samping kelemahan-kelemahan tersebut, jika Rancangan KUHAP mau serius mengatur penyadapan, ia juga harus mengatur penggunaan materi hasil penyadapan yang mencakup: (1) adanya pembatasan orang yang dapat mengakses penyadapan dan jangka waktu penyimpanan hasil penyadapan; (2) prosedur penyadapan; (3) mengatur mengenai materi penyadapan yang relevan; (4) prosedur menjadikan materi penyadapan sebagai alat bukti di pengadilan; dan (5) menghancurkan hasil penyadapan yang sudah tidak relevan demi kepentingan umum dan hak privasi warga negara.
Anggara berharap, Pemerintah dan DPR tidak hanya bersemangat, tapi memiliki kesadaran kuat untuk melindungi hak privasi warga negara. Komitmen tersebut bisa dilakukan dengan memberikan pengaturan secara rinci dan dengan ketat sebagaimana diperintahkan oleh konstitusi.
Bukan Isu Politis
Sebelumnya ramai dibicarakan, pasal-pasal penyadapan ini dibikin untuk melemahkan KPK. Namun Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin maupun Wakil Menhumkam Denny Indrayana berkali-kali menegaskan, tidak ada sama sekali niat ke arah sana.
Itu kan memang naskah akademik, jadi masih berupa masukan dari mana-mana. Naskah akademik tidak mengikat. Rumusan RUU KUHAP yang menjadi pegangan dan pembahasan di DPR. Dalam draf revisi KUHAP, pasal per pasalnya tak akan mengatur soal izin penyadapan bagi KPK. KPK, kan, UUnya lex specialis, jadi tak perlu izin penyadapan, kata Amir Syamsuddin, kepada Harian Kompas.
Nah, mestinya fans KPK dan masyarakat antikorupsi tak perlu terlalu khawatir.
Di mata Anggara, isu substansi dari pasal-pasal itu memang jauh lebih penting ketimbang isu politisnya. “Saya tidak melihat kepentingan siapa untuk menghambat siapa. Tapi saya melihat urgensinya saat ini, banyak instansi yang punya hak melakukan penyadapan. Ini berbahaya jika tidak diatur, atau aturannya tidak jelas.”
Tapi, apakah perlu Undang-Undang khusus agar lebih detail? Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia Jogja, Mudzakir menyatakan, “KUHAP saja sudah cukup, sebaiknya jangan ada UU lain yang mengatur masalah penyadapan. Kalaupun ada, mungkin lebih pada pembahasan teknis tertentu. “Hal-hal substansifnya ada di KUHAP, tidak boleh ada di UU lain,” katanya kepada Gresnews.com.
All right. Yang penting, jangan sampai privasi warga negara menjadi barang mainan. (GN-02)
Sumber: Gresnews