Pada 20 November nanti, Indonesia dan Dunia akan memperingati kelahiran Konvensi Anak Sedunia, yang disetujui pada 20 November 1989. Indonesia menandatangani Konvensi Hak Anak pada 26 Januari 1990 dan meratifikasinya melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 pada 25 September 1990. Sehubungan dengan itu pemerintah Indonesia telah mengeluarkan beberapa UU yang diklaim sejalan dengan kepentingan anak, salah satunya adalah UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).
UU SPPA telah secara resmi diberlakukan sejak 31 Juli 2014 yang lalu. Melihat hampir 4 bulan pemberlakuan UU SPPA, Erasmus A. T. Napitupulu, Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), memberikan catatan penting bagi pemerintah. Erasmus menyebutkan bahwa Pemerintah berkewajiban untuk membentuk peraturan pelaksana dari UU SPPA berupa Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres), namun sampai dengan saat ini belum ada satu bentuk peraturan pelaksana pun yang dikeluarkan oleh pemerintah. Erasmus menyatakan, “Hampir dua tahun UU ini lahir, sudah hampir 4 bulan efektif berlaku, tak satupun terlihat peraturan yang dibuat pemerintah, ini menunjukkan Pemerintah lambat” sebut Erasmus.
Berdasarkan pengamatan ICJR, Pemerintah memiliki kewajiban dalam mengaluarkan setidaknya 6 (enam) materi PP dan 2 (dua) materi Perpres, kewajiban tersebut telah diamanatkan dalam berbagai pasal di UU SPPA. Erasmus menjelaskan bahwa meskipun terdapat ketentuan dalam Pasal 107 UU SPPA yang menyebutkan bahwa Peraturan pelaksanaan UU SPPA harus ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak UU SPPA diberlakukan, namun kehadiran peraturan pelaksana dari UU SPPA sangat mutlak diperlukan bersamaan dengan diberlakukannya UU SPPA atau setidaknya secepatnya dikeluarkan. “bagimana mungkin UU nya akan efektif diberlakukan tapi tak satupun peraturan pelaksanaanya dibuat” tukasnya.
Sampai saat ini Erasmus menilai bahwa Pemerintah tidak terbuka dalam melakukan pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) SPPA, progres dan sosialisasinya pun tidak tersampaikan ke masyarakat luas. Dirinya menganggap bahwa RPP SPPA menjadi salah satu harapan untuk mengefektifkan UU SPPA agar dapat melindungi kepentingan anak sebagaimana semangat dari UU SPPA itu sendiri.
Untuk itu, ICJR meminta agar Pemerintah segera merampungkan RPP SPPA maupun peraturan pelaksana lainnya, tentu saja dengan pembahasan yang bersifat profesional dan terbuka. Erasmus mengatakan bahwa semakin lama Pemerintah bergerak, maka semakin banyak kepentingan anak yang dikorbankan dan hal ini malah semakin menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia belum memahami Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi lebih dari 24 tahun yang lalu.