Penyadapan, kata ini sering muncul dalam perdebatan politik maupun hukum di kalangan para politisi atau para penegak hukum serta akademisi di Indonesia. Penyadapan setidaknya telah dianggap sebagai senjata sakti yang diharapkan mampu menguak atau setidaknya membuka tabir akan adanya kejahatan yang terorganisir dan juga menurut beberapa kalangan dapat mencegah adanya kejahatan terhadap keamanan negara.
Namun sayangnya, sebagaimana diungkap dalam tulisan ini, khazanah penyadapan belum benar – benar diresapi sebagai teknik dan metode yang dapat mengurangi perlindungan hak asasi manusia dan dalam titik yang sama tak banyak kalangan pegiat hak asasi manusia yang menaruh perhatian terhadap perlindungan privasi khususnya yang terkait dengan penyadapan.
Terungkap bahwa setidaknya terdapat 16 pengaturan yang dibuat baik oleh pemerintah dan DPR ataupun pemerintah yang mengatur tentang tata cara penyadapan namun dari ke enam belas peraturan tersebut hanya ada satu aturan yang memiliki pengaturan yang cukup baik ketimbang aturan yang lain yaitu UU NO 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Beragamnya cara dan proses penyadapan tentu membawa potensi besar akan melemahnya jaminan perlindungan hak asasi manusia khususnya terkait dengan privasi dari seseorang warga negara dan Indonesia akan menjadi satu – satunya negara dimana hak privasi warga negaranya praktis tidak terlindungi karena ketiadaan aturan tunggal tentang penyadapan.
Lihat saja dalam soal otoritas mana yang berwenang memerintahkan penyadapan, di Indonesia teradapat banyak otoritas yang berwenang untuk memerintahkan dilakukannya penyadapan. Otoritas yang mengizinkan dilakukannya penyadapan di Indonesia sangat beragam dan berbeda-beda tergantung sasarannya. Padahal umumnya di negara lain, izin penyadapan hanya dimiliki oleh satu otoritas saja. Ada yang menggunakan model yang izinnya diberikan oleh pemerintah (executive authorisation), ada yang menggunakan model yang izinnya diperoleh dari pengadilan (judicial authorisation), dan model yang diizinkan oleh hakim komisaris (investigating magistrate). Indonesia justru menganutnya secara campur sari, tanpa adanya mekanisme pengawasan yang jelas.
Implikasinya dari ketiadaan aturan tunggal ini sangat mengerikan, disamping tidak adanya mekanisme pemantauan dan kontrol yang seragam terhadap intitusi yang melakukan penyadapan, ketiadaan aturan tunggal ini akan membuka peluang terjadinya saling klaim berdasarkan kepentingan masing-masing intitusi, akibatnya hak atas privasi yang mencakup hak privasi keluarga dan komunikasi dan korespodensi menjadi rentan dilanggar tanpa kita tahu bagaimana cara mempersoalan penyadapan yang terjadi secara sewenang – wenang.
Tulisan yang telah dibuat oleh Supriyadi W. Eddyono dan Wahyudi Djafar ini merupakan karya pertama sederhana yang dikembangkan dari proses pengujian Pasal 31 ayat (4) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dimana proses pengujian UU tersebut di dorong oleh Institute for Criminal Justice Reform sebagai bagian dan upaya pembentukan hukum melalui putusan Pengadilan.
ICJR memandang penting untuk terlibat aktif mendorong kodifikasi aturan tentang Penyadapan agar aturan penyadapan sejumlah 16 aturan tersebut disatukan kedalam satu UU. Tentunya hal ini juga harus diperkuat dengan adanya advokasi terhadap pembentukan UU Perlindungan Data Pribadi, karena sekali lagi Indonesia masih kurang perhatian kepada masalah perlindungan hak atas privasi
Silahkan unduh di sini