ICJR mengecam keras tindakan main hakim sendiri dari warga Cikupa, Tangerang khususnya ketua RW setempat atas dugaan terjadinya tindak pidana kesusilaan oleh sepasang pemuda. Para warga secara brutal dan tanpa wewenang mengarak perempuan bahkan tak segan-segan untuk mempertontonkan kemaluan korban di depan umum.
Perlu diketahui bahwa hingga saat ini, peraturan perundang-undangan Indonesia sama sekali tidak mengatur adanya tindak pidana kesusilaan pada ranah privat dalam ruang tertutup, dan dilakukan dengan konsen atau persetujuan antar para pihak yang terlibat, sehingga apa yang dilakukan oleh warga Cikupa tersebut telah melanggar hak atas privasi pasangan yang bersangkutan, dan dilakukan tanpa hak dan wewenang apapun. Padahal diketahui tidak ada perbuatan apapun terkait dengan kesusilaan yang dilakukan oleh pasangan tersebut. Tindakan warga yang main hakim sendiri atau persekusi tersebut dapat diganjar dengan pidana berlapis, salah satunya Tindak Pidana Kesusilaan di depan umum Pasal 282 ayat (1) KUHP dan Pasal 35 UU Pornografi tentang menjadikan orang lain objek atau model yang bermuatan pornografi, namun sayangnya justru kembali berpotensi menyerang korban.
Fakta ini kembali mengingatkan kita pentingnya mengatur norma kesusilaan secara hati-hati, jangan sampai pengaturan tindak pidana menjadi eksesif tidak hanya untuk mengatasi permasalahan kejahatan, namun digunakan sebagai pengontrol masalah moral masyarakat yang tidak relevan untuk dilindungi. Hukum pidana seharusnya bersifat ultimum remedium.
Pengaturan yang berpotensi menghadirkan persekusi dapat terlihat dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKHUP) yang saat ini sedang dibahas oleh Pemerintah dan DPR di Parlemen. Beberapa pasal dalam RKUHP khsusunya mengenai tindak pidana kesusilaan lantas menghadirkan potensi terjadinya tindakan main hakim sendiri oleh warga masyarakat.
Pertama, ketentuan Pasal 2 ayat (1) RKUHP yang mengatur perluasan asas legalitas hukum pidana Indonesia dimana dalam pasal ini hukum yang hidup di masyarakat menetukan dapat/tidaknya seseorang dipidana, hal ini jelas menimbulkan celah hukum yang sangat multi tafsir dan melahirkan potensi terjadinya tindak pidana main hakim sendiri, dan secara jelas melanggar asas hukum pidana itu sendiri dimana norma hukum pidana harus tertulis (lex scripta), harus ditafsirkan seperti apa yang dibaca (lex stricta) dan tidak multitafsir (lex certa). Mengakomodir hukum yang hidup di masyarakat yang sifatnya sangat dinamis, subjektif dan sangat bergantung pada konsep mayoritas secara jelas akan melahirkan norma hukum yang tidak jelas yang melanggar fungsi hukum pidana itu sendiri untuk melindungi masyarakat dari tindakan sewenang-wenang negara.
Kedua, ketentuan Pasal 484 ayat (1) huruf e RKUHP yang memberikan definisi luas mengenai tindak pidana zina, dimana zina diartikan termasuk didalamnya persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah. Dalam Pasal 484 ayat (2) dijelaskan bahwa tindak pidana ini dapat dituntut jika adanya pengaduan dari suami, istri atau pihak ketiga yang tercemar. Lagi, lagi ketentuan ini justru menghadirkan potensi main hakim sendiri karena adanya “pihak ketiga yang tercemar” diperbolehkan untuk melakukan penuntutan.. Unsur ini sangat multitafsir dan tidak ada penjelasan spesifik mengenai “pihak ketiga yang tercemar”, terlebih lagi unsur inti pada ketentuan ini yaitu “persetubuhan antara laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah” rentan disalahgunakan. Ketentuan Pasal 484 ayat (1) huruf e yang hanya memberi batas terjadinya persetubuhan secara potensial justru dapat menyasar korban-korban perkosaan dengan pembuktian yang cukup sulit. Aparat penegak hukum lantas menggunakan ketentuan pasal ini yang mana mereka tidak perlu membuktikan adanya kekerasan atau ancaman kekerasan sehingga relatif lebih mudah pembuktiannya dan lantas berpotensi mengkriminalisasi korban.
Ketiga, ketentuan Pasal 488 RKUHP yang mekriminalisasi “melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah”. Ketentuan Pasal ini juga rentan memicu terjadinya persekusi oleh masyarakat sekitar karena tidak jelasnya aturan yang dimaksud. Dalam pasal tersebut dimuat ketentuan mengenai “perkawinan yang sah” dalam Pasal 2 ayat (1) UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan diakui bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan agama. Satu-satunya pengaturan yang menyebutkan agama-agama yang diakui adalah UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pada penjelasan Pasal 1 disebutkan terdapat 6 agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan khong Cu (Confusius). UU ini sebenarnya mengakomodir agama selain keenam agama yang disebutkan, namun pada praktiknya administrasi pencatatan perkawinan hanya tersedia bagi keenam agama tersebut, aliran agama dan penghayat kepercayaan lain sulit untuk melakukan pencatatan perkawinannya yang berakibat pada lahirnya potensi penilaian bahwa perkawinan yang dilakukan tidak sah. Per Agustus 2017 Disdukcapil Kabupaten Tangerang menyatakan bahwa terdapat hampir 50% pasangan suami istri di kabupaten Tangerang yang tidak dicatatkan perkawinannya, sementara di Gorontalo per 2014 terdapat 9.626 pasangan yang tidak tercatat perkawinannya. Jika ketentuan Pasal 488 RKUHP ini disahkan, maka penafsiran “hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah” dapat menyasar kelompok rentan yang pemenuhan hak nya untuk membentuk keluarga tidak diakomodir oleh negara. Masyarakat dan aparat dengan sewenang-wenang dapat menyatakan perkawinan warga penganut kepercayaan tertentu tidak sah dan menuntutnya dengan pidana. Hal ini jelas berdampak buruk bagi sistem hukum pidana dan kembali menimbulkan pertanyaan untuk apa ketentuan pasal ini dirumuskan.
Pada intinya, permasalahan kesusilaan sangat erat kaitannya dengan moral di masyarakat lengkap dengan tendensi dan subjektivitas masyarakat mayoritas sekitarnya, bagaimana pun juga hukum pidana harus dibuat berdasarkan asas legalitas yang tidak boleh dilanggar, bahwa
- Hukum pidana tidak boleh berlaku surut (nonretroatkif/ nullum crimen nulla poena sine lege praviae/ lex praeviae);
- Hukum pidana harus tertulis dan tidak boleh dipidana berdasarkan hukum kebiasaan (nullum crimen nulla poena sine lege scripta/ lex scripta);
- Rumusan ketentuan pidana harus jelas (nullum crimen nulla poena sine lege certa/ lex certa);
- Ketentuan pidana harus ditafsirkan secara ketat dan larangan analogi (nullum crimen poena sine lege stricta/ lex stricta).
Segala jenis aturan terlebih lagi yang menyertakan hukum pidana dengan konsekuensi terlanggarnya hak atas kemerdekaan seseorang harus dirumuskan secara hati-hati dan tidak boleh menimbulkan potensi terjadinya kesewenang-wenangan.