Presiden RI dan Menteri Komunikasi dan Informatika menyatakan banding terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor: 230/G/TF/2019/PTUN-Jakarta tanggal 3 Juni 2020. Informasi tentang banding ini diketahui Tim Pembela Kebebasan Pers melalui surat pemberitahuan pernyataan banding dari PTUN Jakarta dengan tanggal 16 Juni 2020.
Dalam putusan sebelumnya, majelis hakim menyatakan tindakan tergugat I (Kementerian Kominfo) dan Tergugat II (Presiden RI) yang memperlambat dan memutus akses internet di Papua dan Papua Barat pada Agustus dan September 2019 lalu adalah Perbuatan Melanggar Hukum. Hakim juga menghukum Tergugat membayar biaya perkara.
Dalam sidang, gugatan yang diajukan Tim Pembela Kebebasan Pers memenuhi syarat untuk mengajukan gugatan dengan mekanisme gugatan legal standing. Hakim juga menyatakan gugatannya jelas atau tidak kabur. Soal gugatan terhadap Presiden RI, kata Hakim, bukan merupakan error in persona. Presiden dinilai bisa digugat karena tidak melakukan kontrol dan koreksi terhadap bawahannya dalam pelambatan dan pemblokiran internet ini.
Majelis hakim juga menilai Tindakan pemutusan akses internet ini menyalahi sejumlah ketentuan perundang-undangan. Antara lain, Pasal 40 ayat (2a) dan (2b) Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang menjadi dasar hukum Kemenkominfo memperlambat dan memblokir internet.
Majelis hakim menilai, kewenangan yang diberikan dalam pasal tersebut hanya pada pemutusan akses atau memerintahkan kepada penyelenggara sistem elektronik melakukan pemutusan akses terhadap terhadap informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang “bermuatan melawan hukum”.
“Pemaknaan pembatasan hak atas internet yang dirumuskan dalam Pasal 40 ayat (2b) UU ITE hanya terhadap informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum dan tidak mencakup pemutusan akses jaringan internet,” kata majelis hakim dalam putusannya.
Selain itu, majelis hakim juga menyatakan, alasan diskresi yang digunakan Kemkominfo untuk memperlambat dan memblokir internet dinilai tidak memenuhi syarat sesuai diatur dalam Undang Undang Administrasi Pemerintah 30/2014. Pengaturan diskresi dalam UU Administrasi adalah satu kesatuan secara komulatif, bukan alternatif, yakni untuk; melancarkan penyelenggaraan pemerintahan; mengisi kekosongan hukum; memberikan kepastian hukum; dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
Hakim juga menilai alasan Kemenkominfo menggunakan diskresi karena kekosongan hukum, juga tidak tepat. Sebab, dalam kebijakan yang sifatnya membatasi HAM seperti dalam pembatasan pemblokiran internet ini hanya dibolehkan dengan undang-undang, bukan dengan aturan hukum lebih rendah dari itu. Sebenarnya ada ada undang-undang yang bisa dipakai sebagai dasar untuk melakukan pembatasan hak, yaitu Undang Undang tentang Keadaan Bahaya. Namun pemerintah tidak menggunakan undang-undang tersebut dalam menangani penyebaran informasi hoaks dalam kasus Papua ini. Hakim juga menilai pemutusan akses internet tidak sesuai dengan pengaturan pembatasan HAM yang diatur dalam Konstitusi dan sejumlah kovensi hak asasi manusia lainnya.
Atas pernyataan banding Presiden dan Menteri Komunikasi, Tim Pembela Kebebasan Pers menyampaikan sikap:
1. Keputusan untuk mengajukan banding atas putusan PTUN Jakarta soal blokir internet di Papua dan Papua Barat merupakan hak Presiden RI dan Menteri Komunikasi dan Informatika. Namun Tim Pembela Kebebasan Pers menyayangkan karena pemerintah tidak mau belajar dari putusan majelis hakim yang dengan gamblang memutus perkara ini dengan berbagai pertimbangan. Pemerintah juga tidak belajar dari gugatan-gugatan lainnya seperti gugatan kebakaran hutan di Kalimantan, gugatan Ujian Nasional dan lainnya yang justru terus kalah dan malah membuat semakin buruk bagi pemerintah
2. Pengajuan banding ini akan melukai hati dan rasa keadilan bagi masyarakat Papua dan Papua Barat yang menjadi korban perlambatan dan pemutusan akses internet Papua karena memperpanjang pengadilan dengan pengajuan banding.
3. Pengajuan banding ini juga semakin menegaskan pemerintah tidak memahami fungsi dan peran peradilan, serta tidak mau menerima partisipasi dan koreksi dari masyarakat. Ini juga sesuai dengan kekhawatiran kami, bahwa pemerintah menganggap langkah-langkah hukum yang diambil masyarakat dan dihargai konstitusi dianggap sebagai lawan dan gangguan.
4. Tim Pembela Kebebasan Pers siap menghadapi banding pemerintah dan meyakini putusan majelis hakim di pengadilan tinggi akan kembali memenangkan atau menguatkan putusan PTUN Jakarta.
—-
Tim Pembela Kebebasan Pers
AJI Indonesia, SAFENet, LBH PERS, YLBHI, KONTRAS, ICJR, ELSAM