image001

Konsep HPP Belum Jawab Problem, Masih Perlu Perbaikan

Hakim Pemeriksa Pendahuluan, istilah yang diperkenalkan Rancangan KUHAP tahun 2012 untuk menggantikan praperadilan diyakini belum akan mampu menjawab problem yang selama ini terjadi. Sebabnya, konsep HPP yang diusung dalam Rancangan tersebut secara mendasar tidak berbeda dengan konsep praperadilan yang hingga kini masih berjalan. Demikian antara lain kesimpulan yang mengemuka dalam diskusi tematik yang diselenggarakan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Rabu (24/4) di Hotel Akmani, Jakarta. Diskusi ini menghadirkan dua narasumber yang aktif dalam diskursus pembentukan KUHAP pada tahun 1970-an, Gregory Churchill dan Luhut MP Pangaribuan.

Secara umum, para narasumber mengapresiasi dan menilai terdapat beberapa kemajuan dalam KUHAP dan juga konsep HPP tersebut. Namun masih terdapat beberapa hal penting yang harus diperhatikan agar problem yang telah terjadi selama ini di bawah konsep praperadilan tidak lagi terulang di masa mendatang.

“Problemnya adalah dalam hal hubungannya dengan penetapan status sebagai tersangka tetap menjadi diskresioner karena tidak masuk dalam kewenangan HPP”, kata Luhut Pangaribuan di awal-awal pengantarnya dalam diskusi ini.

Bagi Luhut, konsep HPP tersebut sama seperti praperadilan yang memberikan kewenangan absolut kepada penyidik untuk menentukan keterpenuhan bukti permulaan yang cukup untuk menentapkan seseorang menjadi tersangka, dan bukti yang cukup untuk melakukan penahanan. Absolutnya kewenangan ini pada akhirnya menyebabkan penyidik tidak dapat dikontrol, termasuk dalam menentukan pengenaan upaya paksa terhadap seseorang. “Ini harus diubah dari diskresi menjadi due process of right, atau harus ada judicial scrutiny terhadap upaya paksa yang dilakukan penyidik. Dengan kata lain, walaupun dimungkinkan menetapkan orang sebagai tersangka tapi post factumnya harus tunduk pada pengujian judicial. Bukan diskresi, tapi due process”, tambahnya.

Luhut menyesalkan praperadilan sebagai mekanisme komplain hingga saat ini tidak berjalan efektif. Padahal, semangat melalui praperadilan ketika pembentukan KUHAP sangat erat kaitannya dengan perlindungan terhadap hak asasi manusia, sesuatu yang tidak terwujud ketika HIR berlaku. Dalam pandangan pria Tapanuli ini, ada problem krusial dalam design sistem peradilan pidana di Indonesia terutama pada tahap pra-ajudikasi, yang pada akhirnya berdampak pada tidakefektifnya praperadilan sebagai mekanisme komplain. Menurut Luhut, peranan pra-ajudikasi yang diberikan KUHAP terlalu besar. “Konkritnya, peranan BAP terlalu besar dan terlalu sentral”, tegasnya.

Luhut melanjutkan, BAP adalah produk utama dari tujuan tahap pra-ajudikasi. Namun kewenangan dalam pembuatannya menitikberatkan pada negara (penyidik), sehingga due process of law-nya hanya pro-forma dan terbatas. “BAP terlampau sentral, dan lebih diarahkan pada “vonis yang tertunda”. Sehingga ke depan, pra-adjudikasi harus disimplifikasi dan peran BAP harus dibatasi seperti perkembangan yang terjadi di beberapa negara”, katanya.

Hal yang sama juga disampaikan Gregory Churchill. Churchill yang menjadi peninjau asing ketika pembahasan pembahasan KUHAP pada tahun 1970-an, mengatakan bahwa tidak efektifnya praperadilan sudah diprediksi sejak semula. Pertarungan kepentingan pada saat pembentukan KUHAP sangat kental, sehingga ada RUU tandingan yang saat itu muncul.

“Ada depresi besar di kalangan orang yang mau memperbaharui hukum acara pidana, dan itu menjadi kekalahan besar. Akibatnya, praperadilan yang diharapkan bisa melihat hak orang sampai kelakuannya, seperti cara kerja polisi dan lain-lain didorong keluar untuk hanya melihat permukaan. Sehingga, tidak bisa berperan seperti peran hakim komisaris, dan praperadilan dalam banyak hal jadi hampa”, papar Gregory Churchill.

Bagi Churchill, keinginan utama konsep yang diusung melalui praperadilan saat itu adalah bagaimana hakim praperadilan benar-benar menjadi wasit yang dapat berperan untuk menilai tindakan-tindakan refresif penegak hukum dalam upaya paksa, namun ternyata tidak terwujud dalam rumusan KUHAP. “Saya tidak mau bilang bahwa praperadilan tidak ada gunanya, karena memang dalam beberapa hal ada yang tercapai dengan itu. Tapi harapan utama bahwa ini akan membawa hakim pada posisi di atas polisi atau penyidik lainnya dalam proses pidana sebagai wasit dan penjaga HAM”, dia menambahkan.

Sama seperti Luhut, Churchill juga menilai bahwa secara prinsip, semangat yang ada pada diri orang-orang yang terlibat dalam pembaruan KUHAP saat ini melalui konsep Hakim Pemeriksa Pendahuluan tidak berbeda dengan semangat yang diusung ketika pembahasan KUHAP. Namun masih terdapat item-item yang penting diperhatikan karena memiliki potensi akibat yang juga sama dengan konsep praperadilan di dalam KUHAP. Churchill mencontohkan penempatan kantor HPP di dekat atau dilingkungan rutan yang sangat berpotensi mempengaruhi kebijaksanaan hakim dalam membuat keputusan.

“Ada yang mengkuatirkan bahwa dengan alasan bahwa itu akan lebih memudahkan proses, sehingga hakim mau ditempatkan berdekatan dengan rutan.  Itu kalah sejak mulai.  Karena, hakim bukan tugas mudah apalagi dikkeliling oleh polisi, sipir, dan tempat yang tegang untuk secara bijak apakah bukti cukup, alasan penahana, perlakuan baik dan pelanggaran, dan membuatnya menjadi fungsionaris dari sistem penahanan”, katanya.

Churchill sendiri sepakat dengan pendapat Luhut Pangaribuan bahwa pelibatan hakim dalam setiap melakukan upaya paksa harus dilalui melalui pengujian pengadilan. “Dalam perspektif peradilan pidana, hidup orang sama sekali tidak bisa diganggu. Kalau pemerintah diberi wewenang untuk menganggu maka harus ada prosedur. Tidak boleh ada ganggung tanpa ijin hakim. Jadi, mau menyadap, geledah, menahan, harus ada proses yang disoroti oleh hakim supaya diberi wewenang kepada negara untuk ganggu hidup orang. Jadi muara semua tindakan seperti itu perlu scrutiny”, Churchill memaparkan.

Selain itu, dua narasumber juga menilai pentingnya untuk memasukkan partisipasi masyarakat dalam konsep HPP ini. Menurut Luhut, peran masyarakat perlu dimasukkan sebagai penentu dalam mekanisme komplain agar proses dapat menjadi lebih berimbang. “Format HPP sebaiknya bukan hakim karir tapi bagian dari partisipasi masyarakat. Grand Juri dapat dijadikan sebagai komparasi, namun tetap berbeda seperti yang ada di Amerika itu”, katanya.

Related Posts

  • 15 for Justice
  • Advokasi RUU
  • Alert
  • Dokumen Hukum
  • English
  • ICLU
  • Law Strip
  • Media Center
  • Mitra Reformasi
  • Publikasi
  • Special Project
  • Uncategorized
    •   Back
    • Reformasi Defamasi
    • #diktum
    • Anotasi Putusan
    • Penyiksaan
    • Strategic Litigation
    • RKUHAP
    • Putusan Penting
    • advokasi RUU
    • Advokasi RUU
    • Resources
    • Cases
    • Other Jurisdiction Cases
    • Civil
    • Criminal
    • Media
    • National
    • Public
    • IT Related
    • Torture Cases
    • Torture Resources
    • Laws and Regulation
    • Law Enforcer
    • Survivor
    • Weekly Updates
    • RUU Polri
    • RUU TNI
    •   Back
    • Resources
    • Cases
    • Other Jurisdiction Cases
    • Civil
    • Criminal
    • Media
    • National
    • Public
    • IT Related
    •   Back
    • Civil
    • Criminal
    • Media
    • National
    • Public
    • IT Related
    •   Back
    • Kabar ICJR
    • ICJR di Media
    •   Back
    • Law Enforcer
    • Survivor
    •   Back
    • Torture Cases
    • Torture Resources
    • Laws and Regulation
    • Law Enforcer
    • Survivor
    •   Back
    • Peraturan Mengenai Trafficking
    • Perlindungan Saksi dan Korban
    • Rancangan KUHAP
    • Pemasyarakatan
    • Rancangan KUHP
    • Penetapan Presiden
    • Peraturan Menteri
    • Peraturan Pemerintah
    • Surat Edaran
    • Surat Keputusan Bersama
    • Keputusan DitJen PAS
    • Keputusan Menteri
    • Keputusan Presiden
    •   Back
    • Peraturan
    • Peraturan Mengenai Trafficking
    • Perlindungan Saksi dan Korban
    • Rancangan KUHAP
    • Pemasyarakatan
    • Rancangan KUHP
    • Penetapan Presiden
    • Peraturan Menteri
    • Peraturan Pemerintah
    • Surat Edaran
    • Surat Keputusan Bersama
    • Keputusan DitJen PAS
    • Keputusan Menteri
    • Keputusan Presiden
    •   Back
    • RUU Polri
    • RUU TNI
    •   Back
    • Penetapan Presiden
    • Peraturan Menteri
    • Peraturan Pemerintah
    • Surat Edaran
    • Surat Keputusan Bersama
    • Keputusan DitJen PAS
    • Keputusan Menteri
    • Keputusan Presiden
    •   Back
    • Weekly Updates
Load More

End of Content.

Copyright © 2024 Gogoho Indonesia | Powered by Gogoho Indonesia

Scroll to Top