Saat ini Pembahasan R KUHP hampir selesai berdasarkan hasil rapat pembahasan Panja RKUHP pada tanggal 13 Juni 2017. Panja memerintahkan agar Timus (Tim Perumus)-Timsin (Tim Sinkronisasi) segera bekerja untuk menyelesaikan hasil pembahasan Panja R KUHP. Namun Hasil panja kemarin masih meninggalkan banyak persoalan terutama mengenai implikasi masuknya Tindak pidana Khusus (Tipsus) dalam KUHP. Institute for Criminal Justice reform (ICJR) melihat ada persoalan mendasar terkait Pengaturan Tindak Pidana Khusus dalam R KUHP. Ada 5 (lima) Tindak pidana khusus yang paling penting menjadi perhatian, yaitu Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika, Tindak Pidana Pelanggaran Berat HAM, Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana Terorisme, dan Tindak Pidana Pencucian Uang.
ICJR dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP (Aliansi KUHP) dari awal tidak sepakat soal Pengaturan Tindak Pidana Khusus seperti yang dirumuskan dalam RKUHP. ICJR dan Aliansi KUHP, melihat RKUHP mengadopsi pasal-pasal Tipsus secara tidak cermat, ada banyak terjadi perubahan tindak pidana khusus yang dimasukkan dalam R KUHP. Intinya tindak pidana khusus dipaksakan masuk dengan adopsi yang tidak sempurna, belum lagi dengan pendekatan yang berbeda seperti UU Narkotika yang harusnya lebih berperspektif kesehatan masyarakat ketimbang pidana. Hal ini akan menimbulkan ketidakjelasan, serta konflik antara RKUHP dan instrumen hukum yang memuat ketentuan pidana di luar KUHP tersebut.
Oleh karena itu ICJR mendorong seluruh lembaga Negara seperti Komnas HAM, BNPT dan PPATK juga mersepon dan memastikan nasib tindak pidana khusus dalam RKUHP. Posisi dan rekomendasi lembaga lembaga ini penting didengar oleh Tim perumus RKUHP. Di samping itu model kodifikasi mengisyaratkan adanya RUU transisi pelaksanaan KUHP baru, yang sampai sekarang tidak pernah dihasilkan oleh pemerintah. Tanpa adanya RUU transisi KUHP, bisa diduga pelaksanaan kodifikasi KUHP dimasa depan akan mendapati banyak kendala serius.
Ruang Lingkup Tindak Pidana | Undang-Undang yang memuat ketentuan pidana | Pengaturannya di RKUHP |
Terorisme | Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Pasal 6, dan Pasal 7). | Pasal 249 dan Pasal 250 RKUHP |
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahandan PemberantasanTindak pidana PemberantasanTerorisme (Pasal 4,5,6) | Pasal 254, 255, dan 256 RKUHP | |
Undang-undang Nomor 9Tahun 2008 Pasal 14 huruf c dan d tentang Penggunaan Bahan Kimia Dan Larangan Penggunaan Bahan Kimia Sebagai Senjata Kimia | Pasal 253 RKUHP | |
Pelanggaran HAM Berat | Genosida dalam No 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAMKejahatan Terhadap Kemanusia dalam UU No 26 Tahun 2000 Pengadilan HAM | Genosida: Pasal 400 ayat (1) dan (2)
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan |
Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropika | UU Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika (semua ketentuan pidananya dimasukkan ke dalam RKUHP)
UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang psikotropika (semuan ketentuannya pidananya ditarik, namun yang dimasukkan hanya lex generalisnya) |
Pasal 507 sampai dengan Pasal 525 untuk UU nomor 35 Tahun 2009
Pasal 526 sampai dengan 534 untuk UU Nomor 5 Tahun 1997 |
Tindak Pidana Korupsi | UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi. Memasukkan semua pasal dalam BAB II tentang “Tindak Pidana korupsi” ke RKUHP. Namun untuk BAB III tentang “Tindak Pidana Lain yang Berkaitan Dengan Tindak Pidana Korupsi” tidak dimasukkan | BAB XXXIII “Tindak Pidana Korupsi” Pasal 687 sampai dengan Pasal 706 |
Tindak Pidana Pencucian uang | UU No 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemebrantasan Tindak Pidana Pencucian uang. Memasukkan semua ketentuan dalam BAB II “Tindak Pidana Pencucian Uang “ke dalam RKUHP. | Pasal 760 sampai dengan Pasal 767 RKUHP |
Masalah krusial terkait Tindak pidana Ham Berat dalam R KUHP
Salah satu kejahatan yang akan dimasukkan ke dalam RKUHP adalah tindak pidana hak asasi manusia yang meliputi tindak pidana genosida, tindak pidana terhadap kemanusiaan, tindak pidana dalam masa perang atau konflik bersenjata. Kejahatan-kejahatan tersebut dalam perkembangan hukum pidana internasional merupakan kejahatan khusus yang dikategorikan sebagai “gross violation of human rights”.
Dalam hukum nasional, sebagian dari tindak pidana ini; yaitu genosida dan tindak pidana terhadap kemanusiaan sudah diatur dalam pengaturan khusus yaitu Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.[1] Dalam UU tersebut tindak pidana genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan masuk dalam kategori “pelanggaran HAM yang berat” yang mempunyai karakteristik berbeda dengan tindak pidana umum sebagaimana diatur dalam KUHP saat ini.
Penempatan Kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam R KUHP dengan perbedaan rumusan yang lemah akan menimbulkan kesulitan dalam melakukan penuntutan yang efektif terhadap kejahatan-kejahatan ini. Akibatnya adalah kelemahan dalam memberikan usaha untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Setidaknya ada tiga alasan mengapa menempatkan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dianggap tidak tepat dimasukkan dalam kodifikasi RKUHP:
Pertama, Perumusan Kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam RKUHP masih mempunyai perbedaan dengan perumusan pelanggaran HAM yang berat sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM. Perbedaan tersebut mencakup nama tindak pidananya yakni tindak pidana genosida dan tindak pidana terhadap kemanusiaan. Perumusan ketentuan dalam RKUHP tentang tindak pidana genosida dan tindak pidana terhadap kemanusiaan yang sesuai dengan Undang-undang No. 26 tahun 2000 inilah yang menimbulkan permasalah karena justru mengulangi kesalahan perumusan sebagaimana dalam Undang-undang No. 26 Tahun 2000. Para penyusun juga tidak melengkapi dengan adanya element of crimes sebagai bagian yang sangat penting untuk memberikan kejelasan dalam menafsirkan maksud tindak pidana genosida dan tindak pidana terhadap kemanusiaan.
Dengan rumusan yang tidak lengkap dan salah dari ketentuan aslinya sesuai dengan Statuta Roma 1998 telah melemahkan tingkat kejahatan-kejahatan tersebut. Akibatnya, jika rumusan tentang tindak pidana genosida dan tindak pidana terhadap kemanusiaan dalam RKUHP ini dipertahankan dengan rumusan yang demikian maka akan melemahkan efektivitas penuntutan terhadap kejahatan-kejahatan ini.
Kondisi ini berbeda dengan pengaturan tentang kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Meskipun dengan perumusan yang tidak lengkap, tetapi ada klausul bahwa apa yang dimaksud dengan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam undang-undang tersebut sesuai dengan Statuta Roma 1998. Hal ini mempunyai konsekuensi bahwa hakim masih mempunyai peluang untuk menafsirkan perumusan tentang kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan sesuai dengan maksud aslinya dalam Statuta Roma 1998.
Kedua, Tindak pidana genosida dan tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan memiliki karakteristik yang berbeda dengan dengan tindak pidana umum (ordinary crimes), yang oleh karena itu asas-asasnya menyimpangi asas-asas umum hukum pidana. Kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida tidak mengenal asas “daluarsa” dan alasan penghapusan pidana karena perintah jabatan atau perintan tersebut melanggar hukum.
Ketiga, Kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan internasional yang berdasarkan hukum internasional kejahatan ini dilarang untuk diberikan amnesti. Berdasarkan Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation for Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law; General Comment 31, Update Set of Principles to Combat Impunity dalam Prinsip 1, 19, 22 and 24 yang mengatur bahwa ketika terjadi genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan maka setiap negara memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menuntut dan menghukum secara setimpal para pelakunya serta tidak memberikan amnesti kepada para pejabat atau aparat negara sampai mereka dituntut di depan pengadilan. Jadi ada kewajiban negara untuk menghukum pelaku dan memberi kompensasi terhadap korban.
Rumusan dalam Buku I RKUHP kembali menentukan adanya gugurnya kewenangan penuntutan karena adanya pemberian amnesti dari Presiden (Pasal 152 huruf g). Klausul ini memberikan peluang terhadap tindak pidana genosida dan tindak pidana terhadap kemanusiaan tidak dilakukan penuntutan karena adanya amnesti. Hal ini sangat bertentangan dengan hukum internasional yang mewajibkan setiap negara untuk melakukan penuntutan terhadap para pelaku kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Dikhawatirkan dengan dimasukkannya kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam RKUHP akan melemahkan bobot kejahatan (gravity of the crimes) dikarenakan jenis-jenis kejahatan tersebut telah dikenal sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crimes) dan merupakan kejahatan internasional yang termasuk pelanggaran terhadap Jus cogens dan Erga Omnes yakni norma tertinggi dalam hukum internasional yang mengalahkan norma-norma lain (overriding norms) dan merupakan suatu kewajiban seluruh negara untuk melakukan penuntutan. Sebagai konsekuensinya, terhadap kejahatan-kejahatan yang tergolong serius ini, asas dan doktrin hukum menunjukkan adanya pemberlakukan asas-asas umum yang berbeda untuk menjamin adanya penghukuman yang efektif.
Sehingga menempatkan jenis-jenis kejahatan tersebut dengan perumusan saat ini di R KUHP dan memaksakannya masuk dalam KUHP di masa depan akan menimbulkan kelemahan-kelemahan baik dari sisi perumusan kejahatan maupun ketidakcukupan asas-asas umum yang dianutnya. Bahkan berpotensi menimbulkan pertentangan dengan asas-asas umum hukum pidana dalam Buku I R KUHP.
Oleh karena itu sebaiknya jenis kejahatan ini tetap berada di luar R KUHP. Sedangkan revisi menyeluruh tentang perumusan dan akomodasi asas-asas khusus yang akan mewadahi efektivitas penuntutan atas kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan ini adalah dengan melakukan amandemen terhadap UU No 26 Tahun 2000.