Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mendesak pemerintah untuk mencabut pasal pencemaran nama baik dan penghinaan. Menurut anggota ICJR Wahyudi Djafar, kedua pasal tersebut kerap dijadikan mekanisme balas dendam di samping menjaga reputasi.
“Kita bisa ambil kesimpulan, alasan penghinaan nama baik bukan saja menjaga reputasi tapi mekanisme balas dendam,” kata Wahyudi di Jakarta, Minggu (11/1/2015).
Menurut Wahyudi, kerap terjadi ketimpangan antara pencemaran nama baik yang dilakukan dengan objek pelaporannya. Tak jarang objek yang dilaporkan mencemarkan nama baik atau penghinaan adalah golongan yang lebih lemah. Sedangkan mereka yang melaporkan biasanya memiliki kekuatan ekonomi, atau politik.
“Misalnya pelaporan aktivis antikorupsi di Semarang, dilaporkan politikus di Jakarta, ini memperlihatkan relasi timpang antara pencemaran nama baik dengan objek pelaporan. Misalnya PNS dilaporkan bupatinya, masyarakat umum dilaporkan pengusaha besar,” papar Wahyudi.
Menurut catatan ICJR, pelaporan dugaan pencemaran nama baik di dunia banyak terjadi ketika masa pemilihan umum. Rata-rata pelaporan berkaitan dengan saling serang antar kandidat yang bertaruh dalam pemilu.
Selain itu, Wahyudi menilai ada kecenderungan kasus dugaan pencemaran nama baik berawal dari masalah sepele. Ia menceritakan kisah sepasang suami istri di Yogyakarta yang tengah dalam proses perceraian. “Dia mau bercerai dengan suaminaya, dia ubah statusnya di Facebook dari single jadi menikah dengan pacar barunya, lalu dia dilaporkan ke polisi dan harus mendekam di penjara,” kata Wahyudi.
Kendati berawal dari urusan sepel, pasal pencemaran nama baik memuat ancaman pidana yang tergolong tinggi, yakni hukuman penjara selama enam tahun serta denda Rp 10 miliar. Dengan ancaman hukuman di atas lima tahun tersebut, penyidik berhak menahan orang yang dilaporkan atas tuduhan itu.
“Ini tugas kita semua untuk meninjau ulang seluruhnya karena faktanya mengekang kebebasan berpendapat dan berekspresi,” ucap Wahyudi.
Sumber: Kompas.com