Dalam sebuah persidangan, alat bukti sangatlah penting, karena dengan adanya alat bukti akan terungkap dengan lebih jelas dan terang kebenaran dari suatu peristiwa. Menurut R. Atang Ranomiharjo, alat bukti adalah alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana alat-alat tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbukan keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara (KUHAP) yang berlaku saat ini, ketentuan tentang alat bukti diatur dalam Pasal 184 ayat (1). Menurut pasal ini, alat bukti yang sah mencakup keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa. Namun dalam Rancangan KUHAP terbaru, terdapat perubahan alat bukti yang sah. Pasal 175 ayat (1) Rancangan KUHAP berbunyi: “Alat bukti yang sah mencakup: (a) barang bukti; (b) surat-surat; (c) bukti elektronik; (d) keterangan seorang ahli; (e) keterangan seorang saksi; (f) keterangan terdakwa; dan (g) pengamatan hakim.
Dengan ketentuan ini, terdapat alat bukti yang diganti/dihilangkan dan sekaligus ditambah oleh Rancangan KUHAP dari KUHAP yang berlaku saat ini. Alat bukti yang ditambah yaitu barang bukti, bukti elektronik, dan pengamatan hakim. Sedangkan alat bukti yang dihilangkan atau lebih tepatnya diganti adalah alat bukti petunjuk.
Dahulu, hakim dianggap sebagai bouche de la loi atau hakim sebagai corong undang-undang. Hakim hanyalah pelaksana undang-undang. Namun dalam perkembangannya hakim lebih leluasa untuk menafsirkan undang-undang.
Banyak kasus, hakim-hakim yang menggunakan kacamata hukum positif semata, gagal membuktikan dakwaan penuntut umum gara-gara alat buktinya dirasa kurang. Dalam RUU KUHAP, pengamatan hakim terhadap terdakwa bias menjadi alat bukti yang sah dan melengkapi alat bukti lainnya. Jika KUHAP yang sekarang ada lima alat bukti, dalam RUU KUHAP disebutkan ada tujuh alat bukti. Demikian disampaikan Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Trisakti yang juga Ketua Tim Perumus RUU KUHAP, Prof. Andi Hamzah, dalam Simposium Nasional Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia di Universitas Hasanuddin, Makassar, Rabu (20/3/2013).
Dengan adanya alat bukti pengamatan hakim diharapkan memberikan keleluasaan bagi hakim untuk menemukan hukum (rechtsvinding) terhadap setiap perkara yang diajukan kepadanya, sesuai dengan amanat dalam pasal 16 Undang-Undang nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi,”Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya”. Dengan daftar alat bukti yang bertambah, maka penetapan seseorang menjadi tersangka akan lebih mudah. Semoga!! (Lestari Hotmaida Sianturi/ICJR)