(Selasa 17 Oktober 2017) ICJR bersama sama dengan RC (Rumah Cemara) dan EJA (Empowerment and Justice Action) malakukan audiensi dengan Mahkamah Agung RI yang diwakili oleh Asisten Kamar Pidana Bapak Arman Surya Putra. Dalam pertemuan ini, ICJR, RC dan EJA menyampaikan hasil penelitian yang telah dilakukan pada Tahun 2016 yang bertemakan implementasi SEMA dan SEJA terkait penempatan pengguna narkotika dalam lembaga rehabilitasi di Surabaya. Penelitian ini berjudul “Meninjau Rehabilitasi Pengguna Narkotika dalam Praktik Peradilan”.
Penelitian ini dilakukan terhadap putusan di PN Surabaya untuk melihat kecenderungan proses peradilan pidana bagi pecandu dan pengguna narkotika di Surabaya. Focus penelitian dilakukan terhadap 32 putusan terkait kasus para pecandu dan pengguna narkotika berdasarkan rujukan dalam SEMA No. 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabiltasi Medis dan Sosial (SEMA 4/2010).
Dalam audiensi ini, ICJR, RC dan EJA memaparkan hasil dari penelitian tersebut, ICJR, RC dan EJA pada dasarnya menyampaikan bahwa niatan dan semangat SEMA maupun SEJA terkait penempatan korban penyalahguna narkotika tampaknya jauh dari pelaksanaannya, bahkan dalam beberapa aspek bisa dianggap gagal. Kegagalan tersebut sudah terlihat dari mulai proses penyidikan sampai dengan putusan oleh hakim, dimana semangat memenjarakan pelaku penyalahguna sungguh terlihat.
Terdapat beberapa temuan penting dari penelitian ini, terlihat bahwa mayoritas Jaksa menggunakan Pasal yang bertujuan untuk menjerat pengguna dengan pemenjaraan tinggi, yaitu Pasal 111/Pasal 112 sebanyak 48% berbanding 33% untuk Pasal 127 yang harusnya digunakan untuk penyalahguna dan pecandu narkotika. Tujuan penjeratan penyalahguna dan pecandu narkotika dengan pasal pemenjaraan semakin jelas dengan pencantuman Pasal 111/112 sebagai dakwaan primer/pertama sebanyak 63% berbanding 0% atau nihil untuk Pasal 127. Selanjutnya, mayoritas tuntutan JPU atas terdakwa adalah pidana penjara (90%), hanya sedikit yang menuntut pengenaan rehabilitasi (10%). Ini merupakan bukti bahwa JPU sangat jarang menuntut rehabilitasi bagi terdakwa narkotika.
Hakim juga masih berperspektif untuk memenjarakan pengguna narkotika. Tidak dikabulkannya permintaan untuk merehabilitasi pengguna menjadi temuan penting bahwa hakim pada dasarnya justru tidak memperhatikan ketentuan dalam SEMA. Mayoritas hakim memutus menggunakan pasal 111/112 dengan 60% putusan, meskipun dalam dakwaan, Jaksa juga mendakwa dengan Pasal 127. Bahkan dari total seluruh putusan, hanya ada tiga terpidana yang dijatuhi tindakan rehabilitasi (6%) dan ketiganya merupakan terpidana anak. Kemiripan lainnya adalah dua dari ketiganya sudah sempat ditahan di tempat rehabilitasi. Asumsi bahwa kecenderungan hakim menempatkan terpidana di tempat rehabilitasi setelah sebelumnya terpidana dirawat di pusat rehabilitasi terkonfirmasi dengan temuan ini.
Dalam kacamata ICJR, RC dan EJA, temuan ini jelas menunjukkan bahwa belum ada pemahaman yang sama antara penyidik, penuntut umum dan Hakim dalam memperlakukan pengguna dan pecandu narkotika sebagai korban yang penting untuk direhabilitasi, sebagaimana diatur dalam SEMA dan SEJA, perspektif pemenjaraan masih kuat. Rekomendasinya, agar MA perlu melakukan sosialisasi terkait SEMA ini dan lebih menekankan kepada jajaran Hakim dibawah kekuasaan yudukatif untuk memahami betapa pentingnya posisi pengguna dan pecandu sebagai korban yang perlu dilindungi.
MA pada dasarnya memandang persoalan narkotika merupakan hal yang penting, menurut Asisten Kamar Pidana MA, Bapak Arman Surya Putra, isu narkotik menjadi isu yang selalu dibahas dalam rapat pleno di MA. MA beberapa kali mengeluarkan putusan yang berpihak pada pengguna dan pecandu, salah satunya adalah deskresi yudisial yang menerobos tindak pidana minimal dalam UU Narkotik dalam hal terdakwa adalah penggun dan atau pecandu.
MA juga memahami bahwa budaya hukum dari masyarakat yang masih menganggap narkotika sebagai kejahatan yang harus dipenjara juga memperburuk keadaan ini. Hakim dalam tingkat pertama cenderung untuk memilih menghukum terdakwa kasus narkotika dengan penjara meskipun statusnya sebagai pengguna dan pecandu. Lebih dari itu, mengkonfirmasi temuan dalam penelitian ICJR, RC dan EJA, MA memandang menganggap bahwa perumusan pasal 111/112 UU Narkotika yang berbenturan dengan Pasal 127 UU. Sering pengguna dan pecandu dijatuhi pidana lebih tinggi sebagaimana diatur dalam Pasal 111/112 UU Narkotika yang mengatur penguasaan dan kepemilikan narkotika, padahal pada mereka lebih tepat digunakan Pasal 127 UU Narkotika yaitu pasa khusus bagi penyalahguna narkotika termasuk pengguna dan pecandu.
Dalam Audiensi ini, ICJR, RC dan EJA sepakat untuk selalu melakukan pengawasan dan kajian terhadap putusan hakim sembari selalu menyajikan penelitian yang terukur untuk dijadikan bahan rekomendasi bagi MA. Dalam kondisi yang sama, MA juga sudah sepakat untuk melakukan pembahasan terkait kasus-kasus narkotika khususnya memastikan bahwa para pecandu dan pengguna narkotika sebagai korban untuk mendapat keadilan dan lebih penting untuk direhabilitasi. (Erasmus Napitupulu)