Ini Catatan ICJR Terkait Perma Penanganan Tindak Pidana Korporasi

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (Mappi) Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengapresiasi terbitnya Peraturan Mahkamah Agung (MA) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi.

Perma tersebut dinilai bisa mengisi kekosongan hukum terkait pertanggungjawaban tindak pidana oleh korporasi.

Meski demikian, menurut Direktur ICJR Supriyadi Widodo Eddyono, ada beberapa catatan penting yang harus diperhatikan agar Perma tersebut lebih memadai.

Supriyadi mengatakan, pengaturan yang lebih utuh terkait pertanggungjawaban pidana korporasi seharusnya juga dimuat dalam KUHP.

“Namun rancangan KUHP (pembahasan revisi KUHP) masih belum selesai, sehingga Perma ini nanti harus disesuaikan dengan KUHP baru,” kata Supriyadi, melalui keterangan tertulis, Rabu (4/1/2017).

Oleh sebab itu, menurut Supriyadi, Perma Pidana Korporasi harus disesuaikan dengan KUHP agar tidak sekadar mengisi kekosongan hukum.

Kedua, isi Perma juga banyak mengatur proses hukum yang dilaksanakan oleh institusi penegak hukum selain pengadilan, seperti kejaksaan, KPK, dan kepolisian.

Menurut Supriyadi, perlu dilihat apakah Perma ini tidak tumpang tindih atau berkontradiksi dengan peraturan lainnya.

Saat ini, Kejaksaan Agung sudah memiliki PERJA Nomor 28 Tahun 2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana dengan Subjek Hukum Korporasi.

“Perlu dilihat apakah ada tumpang tindih atau kontradiksi antara Perma dengan aturan internal institusi lainnya, seperti PERJA Nomor 28 Tahun 2014 tersebut,” ujar dia.
Selain itu, Supriyadi berpendapat Perma tersebut hanya mengatur hal-hal yang bersifat formal prosedural, seperti teknis pemeriksaan korporasi di pengadilan, format surat panggilan terhadap korporasi, format dakwaan terhadap korporasi, format putusan terhadap korporasi.

Sementara, sudah ada beberapa perkara korporasi yang tanpa adanya aturan formal tersebut tetap dapat dilakukan proses persidangan.

Dia mengatakan, seharusnya yang menjadi perhatian selain aturan formal-prosedural adalah hal-hal yang bersifat substansi, seperti mekanisme penarikan pertanggungjawaban pidana korporasi, kapan suatu perbuatan dapat dibebankan kepada korporasi dan kapan suatu perbuatan tidak dapat dibebankan kepada korporasi.

Di sisi lain definisi korporasi dalam Perma dianggap belum detail karena tidak mencantumkan apa saja korporasi yang merupakan badan hukum dan apa-apa saja korporasi yang merupakan bukan badan hukum, serta bagaimana pengaturan antara yang satu dengan yang lain.

Catatan lainnya juga mengkritisi pasal 1 angka 10 tentang perluasan penarikan pertanggungjawaban pengurus korporasi.

Dalam pasal itu seseorang bisa dimintai pertanggungjawaban jika terbukti dapat mengendalikam atau memengaruhi kebijakan korporasi meski tidak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan.

“Perluasan ini perlu diperjelas batasannnya. Apabila dikaitkan dengan beberapa teori pertanggungjawaban pidana korporasi seperti ‘identification theory’ maka tetap disyaratkan kedudukan dan kewenangan dari orang yang bersangkutan dikaitkan dengan tindak pidana yang dilakukan,” tuturnya.

Terkait penerapan sanksi, kata Supriyadi, Perma tersebut juga perlu mengatur pidana tambahan atau tindakan tata tertib, selain pidana denda.

Pidana tambahan atau tindakan tata tertib sudah banyak diatur dalam berbagai undang-undang seperti pencabutan izin usaha, pencabutan status badan hukum, perampasan keuntungan, penutupan sebagian atau seluruhnya perusahaan, perbaikan akibat dari tindak pidana, menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama tiga tahun, dan lain sebagainya.

Beberapa sanksi pun perlu diatur lebih lanjut, misalnya pencabutan izin usaha atau status badan hukum. Hal ini dikarenakan dampak dari sanksi itu dapat menimpa orang-orang atau pekerja yang mungkin tidak berkaitan dengan tindak pidananya.

Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2017/01/04/15543231/ini.catatan.icjr.terkait.perma.penanganan.tindak.pidana.korporasi#


Tags assigned to this article:
hukum pidanaKorporasiPidana Tambahan

Verified by MonsterInsights