Laporan Situasi Reformasi Hukum di Sektor Pidana: “Catatan di 2014 dan Rekomendasi di 2015”

  1. Situasi Umum Reformasi Hukum di Sektor Pidana Indonesia

Pada awal 2013, pemerintah akhirnya menyerahkan secara resmi dua rancangan undang – undang hukum pidana dan hukum acara pidana ke DPR. Kedua rancangan ini diharapkan akan mengubah wajah sistem peradilan pidana dan hukum pidana di Indonesia dengan membawa angin segar bagi perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.

Namun, proses pembahasan di DPR ternyata mandek karena berbagai faktor, utamanya karena Indonesia akan segera memasuki tahun politik di 2014. Tahun politik ini menjadi penting, karena Indonesia akan memilih Presiden dan Wakil Presiden baru, anggota Parlemen baik di Nasional ataupun daerah, dan juga memilih para anggota DPD.

Pada akhir 2014, Pemerintah melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah mengeluarkan daftar rekapitulasi Kerangka Regulasi Jangka Menengah 2015-2019 dan rencana regulasi pada 2015. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai ada 21 rancangan UU baru maupun revisi yang berhubungan dengan reformasi hukum pidana dan sistem peradilan pidana. Beberapa rancangan dinilai sangat krusial oleh ICJR seperti Revisi KUHP dan KUHAP, Revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Penyusunan dan penetapan UU yang mengatur tentang perampasan aset, Penyusunan dan penetapan UU tentang Pembatasan Transaksi Tunai, sampai dengan PP dan Perpres turunan dari UU yang sudah berlaku seperti PP dan Perpres UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).

Secara umum dalam aspek reformasi hukum di sektor pidana, program rencana program legislasi pemerintah pada umumnya merupakan hutang lama dari pemerintahan SBY. Peraturan yang diusung di 2015 tidak banyak berubah dari 2014. Bahkan hutang pemerintah merupakan yang paling besar untuk membentuk peraturan terutama yang berada di bawah UU.

Sayangnya ada beberapa regulasi penting yang justru tidak masuk dalam daftar rencana program legislasi pemerintah, yakni RUU Ratifikasi Statuta Roma, RUU Ratifikasi Konvensi Penghilangan Paksa, RUU Anti Penyiksaan, RUU tentang Ratifikasi OPCAT yang merupakan hal penting untuk melanjutkan reformasi hukum di sektor Pidana Indonesia.

Reformasi hukum di sektor pidana terutama reformasi yang berbasiskan pada perlindungan hak asasi manusia terasa mandek di berbagai hal. Misalnya dalam isu over kapasitas Lapas dan Rutan yang tiap tahun terus menerus terjadi tanpa pernah ada solusi yang menyeluruh untuk mengatasi persoalan ini.

Hukuman mati juga masih mengganjal dalam reformasi hukum di sektor pidana. Utamanya perdebatannya adalah berkisar antara menyetujui dan menolak pidana mati yang masih diatur sebagai salah satu jenis pidana pokok dalam KUHP. Sayangnya, baik Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung tak mempersoalkan prosedur atau hukum acara bagi tersangka/terdakwa yang diancam hukuman mati. Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung juga cenderung tidak melihat adanya persoalan pada hukum acara bagi tersangka/terdakwa yang diancam hukuman mati. ICJR menduga bahwa salah satu faktor yang menyebabkan Kejaksaan Agung enggan untuk melakukan eksekusi pidana mati juga disebabkan pada keraguan yang cukup tinggi terkait persoalan persoalan pembuktian yang memenuhi kaidah “beyond reasonable doubt”. Pembuktian yang terkait dengan prinsip “beyond reasonable doubt” sangat terhubung dengan kehatian – hatian penyidik, penuntut, dan hakim dalam menerapkan prosedur atau hukum acara pidana bagi tersangka/terdakwa yang diancam dengan hukuman mati.

Dalam kasus penghinaan melalui medium di Internet, pola overkriminalisasi ini terus dikritik. Pasal 27 ayat (3) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik masih menjadi sasaran kecaman dari para pengguna internet di Indonesia. Menteri Kominfo sejak 2009 telah menjanjikan revisi atas UU ITE ini yang nampaknya realisasinya tidak akan terwujud di 2015. Menteri Rudiantara sendiri pada November 2014 memandang bahwa tidak ada masalah dalam UU ITE. Sepanjang 2014 sendiri, ada lima kasus penghinaan yang menggunakan medium internet yang diperiksa di Pengadilan. Dari lima kasus tersebut, hanya ada 2 yang dibebaskan oleh Pengadilan.

Dari tahun ke tahun kebijakan legislasi Indonesia terus melahirkan undang-undang dengan ancaman pidana di luar KUHP, yang ancaman hukumannya di atas 5 tahun penjara. Dengan meningkatnya jumlah tindak pidana dengan ancaman hukuman di atas 5 tahun, akan berbanding lurus dengan meningkatnya tindak pidana yang menjadi syarat objektif dapat dilakukannya penahanan. Selain ancaman pidana dalam KUHP, sampai tahun 2007 terdapat 443 tindak pidana yang memiliki ancaman pidana di atas 5 tahun. Jumlah ini meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Peningkatan jumlah undang-undang yang memuat ancaman pidana di atas 5 tahun menjadi salah satu faktor penting terus bertambahnya jumlah orang yang ditahan, karena dalam praktik penahanan, unsur yuridis menjadi pertimbangan utama bagi kalangan penegak hukum. Selain terus bertambahnya undang-undang dengan ancaman pidana di atas 5 tahun, mudahnya syarat yang digunakan untuk melakukan penahanan terhadap seseorang sebagaimana diatur di KUHAP, telah berkontribusi besar terhadap kenaikan jumlah orang yang ditahan dan terus meningkatnya jumlah tahanan pra-persidangan dari tahun ke tahun

Selama 2014 menunjukkan kasus penyiksaan masih relatif tinggi, sebanyak 36 kasus yang terindikasi kuat terjadinya tindak penyiksaan, dan perlakuan buruk serta merendahkan martabat manusia. Berdasarkan laporan yang diterima oleh Komnas HAM, Polisi juga menempati posisi sebagai pihak yang paling banyak melakukan penyiksaan maupun kekerasan dan angka kekerasan tertinggi terjadi pada fase penyidikan dan pengambilan keterangan melalui Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Alasan untuk mendapatkan pengakuan mendominasi modus dilakukannya penyiksaan, berbarengan dengan alasan penghukuman yang dilakukan oleh aparat negara. Sejauh ini, berdasarkan pengamatan ICJR, penegakan hukum terhadap kasus-kasus penyiksaan dalam tahapan proses peradilan sangat minim, para pelaku masih susah untuk diadili atau cenderung dilindungi oleh instansi masing-masing.

Khusus untuk bantuan hukum dalam sistem peradilan, meski hak ini dijamin dalam konstitusi, KUHAP, dan UU SPPA namun pada praktekya sulit dipenuhi. Salah satunya faktor terbesarnya adalah mengenai ketersediaan advokat. Advokat yang ada pada saat ini diakui belum mampu menjangkau seluruh penduduk Indonesia. Dengan diundangkannya UU Bantuan Hukum juga belum mampu menjawab faktor ketersediaan advokat. Organisasi Bantuan Hukum yang terakreditasi oleh BPHN juga sebagian besar masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Tanpa ada jaminan ketersediaan advokat yang memadai di seluruh Indonesia, maka Jaminan hak tersangka/terdakwa dalam proses peradilan pidana menjadi sangat lemah. Tidak adanya akses bagi terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum tersebut menjadi penyebab tersangka dan terdakwa rentan untuk mengalami penyalahgunaan kekuasaan yang dimiliki oleh penyidik, penuntut umum maupun kehakiman. Selain itu kesempatan tersangka dan terdakwa untuk melakukan pembelaan di setiap tahap peradilan juga mengecil.

Dalam kerangka legislasi, terkait dengan reformasi KUHP, kritikan paling tajam lebih ditujukan kepada Buku II R KUHP tentang Tindak Pidana. Kritik-kritik tersebut didasarkan pada menguatnya kepentingan perlindungan Negara dan sebaliknya mengganggu banyak kepentingan individu yang tercermin dari jenis-jenis kejahatannya, kebijakan kriminalisasinya yang dianggap overkriminalisasi, selain itu banyak kritik atas duplikasi, kualifikasi dan gradasi tindak pidana dalam Buku II. Selain itu muncul kritik keras mengenai kebijakan kodifikasi yang dianggap tidak menguntungkan dalam penuntutan kejahatan khusus ketika dimasukkan dalam KUHP. Contoh kritik yang tajam adalah mengenai tindak pidana korupsi dan pencucian uang saat masuk dalam skema full kodifikasi ala R KUHP.

Dalam konteks reformsi KUHAP, pembahasan yang berlangsung di DPR pada 2014 akhirnya berhenti. Situasi pembahasan yang berhenti ini sebenarnya menguntungkan, karena berdasarkan pemantauan, proses pembahasan yang terjadi di DPR di pandang tidak berkualitas. Jumlah kehadiran para anggota DPR yang semakin menurun, bahkan tidak memenuhi batas kuorum untuk dilangsungkannya rapat. Proses pembahasan juga tidak berlangsung dengan partisipasi masyarakat yang baik. Selain tidak partispatif, Komisi III DPR RI juga dinilai tidak transparan. Hal itu dikarenakan sulitnya masyarakat sipil untuk mengakses dokumen-dokumen yang beredar ketika rapat seperti DIM R KUHAP dari fraksi-fraksi dengan alasan kerahasian negara.

Salah satu kemunduran legislasi yang paling mencolok adalah dengan dikeluarkannya Qanun Jinayat di Aceh. Pada 27 September 2014, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) akhirnya mengesahkan hukum pidana Islam atau Qanun Jinayat yang akan berlaku tidak hanya bagi orang Islam tetapi juga warga non-Muslim. Sayangnya, bentuk bentuk hukuman cambuk yang diatur dalam qanun ini adalah merupakan bentuk penghukuman kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat yang bertentangan dengan Konvensi Anti Penyiksaan, yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Persoalannya pencambukan seringkali diterapkan untuk kejahatan-kejahatan ringan seperti pelanggaran terhadap tata cara berpakaian yang Islami, menjual makanan pada bulan puasa, dan berdua-duaan di tempat sunyi bersama seorang laki-laki, menjadikan perempuan lebih rentan terhadap bentuk hukuman ini. Selain itu, tak ada aturan yang jelas mengenai bantuan hukum bagi mereka yang dikenakan hukuman cambuk. Pelaksanaan hukum shariah oleh Wilayatul Hisbah (WH) juga diskriminatif dan cenderung menggunakan cara-cara kekerasan dan bias gender.

  1. Rekomendasi 2015

Berdasarkan situasi reformasi hukum di sektor pidana pada 2014, maka ada beberapa hal yang direkomendasikan oleh ICJR untuk dilakukan pemerintah, DPR dan juga Mahkamah Agung

Pertama, ICJR memandang perlu agar pemerintah terutama Kejaksaan Agung untuk memisahkan pelaku yang baru pertama kali melakukan tindak pidana. Untuk pelaku yang demikian, Kejaksaan Agung diminta untuk mengefektifkan jenis tuntutan pidana denda. Dengan menuntut pidana denda, maka diharapkan pengadilan, terutama Mahkamah Agung untuk menjatuhkan pidana denda yang besarannya disesuaikan dengan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No 2 Tahun 2012. Selain itu, ICJR juga merekomendasikan agar pelaku – pelaku yang termasuk kategori pengguna narkotika untuk sesegera mungkin dituntut dengan rehabilitasi dan dijatuhkan putusan rehabilitasi.

Kedua, Upaya untuk membangun lapas dan rutan baru tidak akan mampu untuk meminimalisir jumlah penghuni lapas dan rutan yang terus menerus meningkat. Untuk itu, upaya penahanan sebelum persidangan (penahanan pra sidang) di Rumah – Rumah Tahanan harus dihindari semaksimal mungkin. ICJR meminta agar penyidik, penuntut, dan hakim untuk lebih menggunakan tindakan penahanan rumah atau penahanan kota. Upaya ini wajib dilakukan dengan segera agar dapat dengan signifikan mengurangi jumlah penghuni di Rutan dan di Lapas. ICJR juga meminta agar Mahkamah Agung dan Pengadilan agar segera mempertimbangkan secara serius penggunaan pidana bersyarat (Pasal 14 KUHP) untuk para terdakwa yang dijatuhi pidana karena melakukan kesalahan yang pertama kali

Ketiga, dalam soal hukuman mati, ICJR juga terus mendorong penghapusan hukuman mati. Namun untuk saat ini, ICJR memandang perlu agar Pemerintah memperketat pelaksanaan dari hukum acara pidana. Para Tersangka yang dikenakan ancaman pidana hukuman mati tidak boleh diperiksa tanpa kehadiran Advokat. Negara harus memastikan bahwa terdapat standar tinggi yang harus diterapkan terhadap para tersangka yang diancam hukuman mati seperti melakukan perekaman secara visual pada saat proses pemeriksaan, tidak menahan tersangka di tempat – tempat lain selain di Rumah Tahanan (Rutan) yang dikelola oleh Kementerian Hukum dan HAM, memastikan tidak ada pelanggaran terhadap hukum acara yang berlaku dalam bentuk dan kondisi apapun, memastikan agar setiap bukti yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan legalitasnya

Keempat, dalam soal Peninjauan Kembali, ICJR mendesak agar Mahkamah Agung untuk segera mencabut SEMA No 7 Tahun 2014 tanpa syarat. ICJR juga merekomendasikan agar Mahkamah Agung segera membuat Peraturan MA tentang Hukum Acara Peninjauan Kembali dimana diatur secara khusus tata cara pengajuan Peninjauan Kembali termasuk pengaturan mengenai Novum (keadaan baru). ICJR mendesak agar peninjauan kembali dalam perkara pidana tidak boleh dibatasi sepanjang hal tersebut menyangkut Novum (keadaan baru) yang dapat diajukan oleh Terpidana dan/atau ahli warisnya. Pemerintah juga didesak untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah mengenai ganti rugi terhadap terpidana yang telah menjalani eksekusi mati apabila dikemudian hari ternyata Terpidana tersebut diputus bebas oleh Mahkamah Agung

Kelima, ICJR merekomendasikan pemerintah untuk segera menunaikan janjinya melakukan revisi terhadap UU ITE, khususnya mengenai aturan – aturan pidana yang telah ada padanannya dalam KUHP. Khusus mengenai Penghinaan, ICJR mendesak agar pemerintah dan DPR mencabut ketentuan penghinaan dari hukum pidana Indonesia secara menyeluruh. ICJR juga mendesak agar Kepolisian dan juga Kejaksaan untuk tidak menerapkan penahanan. ICJR juga mendesak agar Mahkamah Agung dalam menjatuhkan putusan atas perkara pidana penghinaan untuk tidak menerapkan pidana penjara, bagi terdakwa yang diputus bersalah. ICJR mendorong Mahkamah Agung dan Pengadilan untuk lebih menggunakan pidana denda dan/atau pidana bersyarat dalam menjatuhkan putusan bagi para terdakwa yang dinyatakan bersalah dalam perkara pidana penghinaan.

Keenam, dalam konteks penahanan pra sidang, ICJR merekomendasikan agar penyidik dan penuntut untuk lebih menggunakan alternative non penahanan di Rumah Tahanan, yaitu penahanan rumah atau penahanan kota. ICJR juga mendorong agar ada sistem jaminan uang yang lebih transparan dan akuntabel untuk penangguhan penahanan. Selain itu ICJR juga merekomendasikan Mahkamah Agung untuk lebih mengefektifkan lembaga Praperadilan dengan membuat Peraturan MA mengenai Hukum Acara Praperadilan

Ketujuh, terkait dengan penyiksaan dalam penyidikan, ICJR merekomendasikan agar Pemerintah dan DPR untuk segera meratifikasi OPCAT dan juga mendorong pembahasan RUU Anti Penyiksaan. ICJR juga mendorong Mahkamah Agung untuk mengeluarkan Surat Edaran agar bukti – bukti yang didapat dari Penyiksaan tidak boleh digunakan sebagai alat bukti yang sah. ICJR juga mendesak kepada pemerintah agar membawa pelaku – pelaku penyiksaan untuk diperiksa di Pengadilan dan tidak hanya diperiksa dalam wilayah kode etik.

Kedelapan, untuk menjamin pemenuhan hak atas bantuan hukum, ICJR merekomendasikan agar pemerintah memfasilitasi penyebaran advokat ke seluruh Indonesia melalui kerjasama dengan organisasi advokat. Pemerintah harus memastikan ketersediaan advokat dan layanan bantuan hukum minimalnya di seluruh Pengadilan – Pengadilan Negeri di Indonesia. ICJR juga merekomendasikan agar Mahkamah Agung benar – benar memperhatikan hak atas bantuan hukum, khususnya bagi tersangka miskin yang diancam pidana di atas 5 tahun penjara. ICJR mendorong agar Mahkamah Agung untuk tidak menerima dakwaan Jaksa Penuntut Umum jika tersangka tidak didampingi oleh Advokat sejak awal pemeriksaan di Penyidikan.

Kesembilan, khusus untuk Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), ICJR mendorong agar pemerintah dan DPR membuka luas partisipasi masyarakat selain membuka seluruh perdebatan – perdebatan dalam pembahasan Rancangan KUHAP. ICJR mendorong pemerintah untuk menguji ulang beberapa ketentuan dalam naskah RUU KUHAP. Sedangkan untuk Rancangan KUHP, ICJR mendorong agar rancangan yang sudah ada dipelajari ulang termasuk perlu memikirkan kembali model kodifikasi penuh yang di gagas dalam rancangan tersebut. ICJR menganggap bentuk kodifikasi penuh atas RUU KUHP akan menimbulkan polemik besar, termasuk dalam kebijakan kriminalisasinya.

Kesepuluh, terkait dengan Qanun Jinayat ICJR merekomendasikan agar Pemerintah yakni Mendagri melakukan uji publik atas aturan-aturan dalam qanun tersebut dengan mengundang para akademisi dan pakar hukum pidana termasuk hukum acara pidana di Indonesia untuk melihat secara lebih jernih muatan qanun jinayat tersebut apakah bertentangan dengan UU di Indonesia. Mendagri juga diminta agar konsisten menerapkan aturan-aturan Hak Asasi Manusia sebagai batu uji untuk melakukan review atas qanun seperti konevensi Hak sipil dan Politik, Konvensi Anti penyiksaan, konvensi anak, CEDAW dan lain lain yang telah di ratifikasi di Indonesia

Unduh Ringkasan Eksektif Disini



Related Articles

The Constitutional Court Must Carefully Examine the Articles of Anti-Corporal Punishment of Children

ICJR is concerned about the violence against teachers that took place, but also assesses that the petition for Judicial Review

Tiada Pengamanan Sepak Bola Seharga Nyawa Ratusan Suporter Bagian Dua: Transkrip Persidangan

Buku ini merupakan Bagian Ke-2 dari buku sebelumnya yang berisi Laporan Pemantauan. Buku ini lahir dari kolaborasi Lembaga Penyuluhan dan

Perppu No 1 Tahun 2016 (Sengaja) Melupakan Korban: 9 Catatan Kritis ICJR terhadap Perppu No 1 Tahun 2016

Pada Rabu, 25 Mei 2016, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo telah menyatakan Kejahatan Seksual Terhadap Anaksebagai kejahatan luar biasa. Presiden

Verified by MonsterInsights