ICJR Beri Apresiasi Perluasan Tafsir Unsur Perkosaan

Berdasarkan Putusan PN No. 410/PID.B/2014/PN.Bgl, Majelis Hakim PN Klas I A Bangkulu yang beranggotakan Cipta Sinuraya, S.H., Syamsul Arief, S.H., M.H., dan Rendra Yozar DP, SH, MH, telah mengeluarkan satu putusan yang akan mengubah wajah pembuktian dalam kasus-kasus perkosaan. Dalam kasus tersebut, Hakim menafsirkan unsur “dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dirinya di luar perkawinan” mencakup “membujuk dan merayu terdakwa, dengan modus asmara atau pacaran atau janji-janji manis padahal sesungguhnya hal tersebut kebohongan belaka, untuk memperdayai korban agar mau bersetubuh dan menyerahkan keperawanan”.

ICJR menyambut baik putusan tersebut dengan beberapa catatan penting. Pada dasarnya pasal 285 KUHP memang tidak mampu lagi memberikan perlindungan bagi korban kekerasan seksual. Unsur “kekerasan atau ancaman kekerasan” dalam Pasal 285 KUHP hanya mampu mencakup kekerasan yang bersifat fisik, dalam persidangan hal ini sangat mudah dipatahkan karena menuntut adanya bukti usaha perlawanan dari pihak perempuan yang menolak suatu pemaksaan bersifat kekerasan secara seksual.

Akibat dari pembuktian yang sangat sulit dari unsur “kekerasan atau ancaman kekerasan” yang diartikan sangat sempit yaitu kekerasan secara fisik, maka banyak sekali cara perkosaan yang tidak menjadi cakupan Pasal 285 KUHP, diantaranya pemerkosaan dibawah pengaruh obat-obatan, penyesatan, tipu daya, tekanan psikologis, sampai dengan persetubuhan tanpa persetujuan korban. Dalam kasus yang sama, ICJR juga memandang hakim telah tepat mempertimbangkan adanya perkembangan kekerasan dan ancaman kekerasan seksual bahkan dalam modus kekerasan dalam pacaran (dating violence). Bahwa kekerasan dan ancaman kekerasan seksual selalu memiliki ciri adanya relasi kuasa antara pelaku dan korban serta adanya kondisi yang memaksa sehingga korban tidak berdaya untuk menolak keinginan pelaku. Kondisi yang memaksa tidak selalu ditandai adanya kekerasan fisik dan tubuh karena dalam konteks tindak pidana kesusilaan korban selalu dihadapkan pada situasi yang rumit.

Namun, ICJR mengingatkan bahwa, penggunaan tafsir yang dilakukan oleh Majelis Hakim dalam Putusan PN No. 410/PID.B/2014/PN.Bgl harus digunakan secara hati-hati karena bersifat sangat eksesif, setidaknya, Majelis Hakim dalam perkara lain yang memiliki kemiripan seperti kasus tersebutlah yang dapat mengadopsi tafsir dan pertimbangan dimaksud sampai dengan ada perubahan perundang-undangan ke depan.

Menjadi catatan penting, bahwa dalam Pasal 488 ayat (1) Rancangan KUHP versi Pemerintah tahun 2012, unsur perkosaan diperluas mencakup diantaranya laki laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan yang bertentangan dengan kehendak perempuan tersebut atau tanpa persetujuan perempuan tersebut, atau dengan persetujuan perempuan tersebut tetapi persetujuan tersebut dicapai melalui ancaman untuk dibunuh atau dilukai, atau karena perempuan tersebut percaya bahwa laki-laki tersebut adalah suaminya yang sah. Dengan rumusan dalam Rancangan KUHP ini, maka dapat diartikan bahwa Pasal 285 KUHP memang sudah layak untuk direvisi.

Dengan adanya Putusan PN No. 410/PID.B/2014/PN.Bgl ini, ICJR mengingatkan Pemerintah dan DPR yang akan membahas Rancangan KUHP ke depan harus memperhatikan perlindungan bagi korban kekerasan seksual, salah satu yang paling penting memastikan tidak adanya celah bagi lolosnya unsur-unsur perbuatan kekerasan seksual yang saat ini telah jauh  berkembang.

sumber gambar: wikipedia


Tags assigned to this article:
hukum pidanakekerasan seksualKUHPPerkoasaan

Related Articles

Carut Marut Persoalan Pengelolaan Aset Kejahatan, Negara Bisa dirugikan Ratusan Miliar Pertahunnya

“Sudah saatnya Pemerintah Jokowi mengatur ulang  pengelolaan benda sitaan dan aset kejahatan dengan mendorong RUU Pengelolaan Aset kejahatan yang komprehensif”

JRKN Akan Kawal Kesepakatan Pemerintah dan DPR Mengeluarkan Delik Narkotika dari RKUHP

Senin, 03 Oktober 2022 Komisi III DPR RI berlangsung Rapat Dengar Pendapat dengan Tim Pemerintah terkait Penjelasan Pemerintah atas hasil

A year Qanun Jinayat: Excessive Usage of Caning in Aceh

The Indonesian government must put an end to caning as a form of punishment and repeal or revise the provisions

Verified by MonsterInsights