Tidak Ada Pilihan Lain: Pasal tentang Penghinaan Presiden dalam Bentuk Apapun dalam RKUHP Harus Dihapuskan

Telah berkali-kali digaungkan oleh Tim Perumus RKUHP, bahwa RKUHP dengan cita-cita reformasi hukum pidana di Indonesia hadir dengan semangat demokratisasi, dekolonisasi, dan harmonisasi hukum pidana. Pada kenyataannya, rumusan RKUHP terakhir dari Pemerintah per 28 Agustus 2019 justru masih memuat aturan-aturan yang dapat membawa Indonesia kembali pada masa kolonialisme atau bahkan lebih buruk dari masa kolonialisme, salah satunya hidupnya kembali pasal sejenis tindak pidana penghinaan presiden.
 
Pada draft versi 28 Agustus 2019, pasal yang sebelumnya dikenal dengan nama tindak pidana “penghinaan presiden” berganti terminologi menjadi “Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden” dalam Pasal 218-220 RKUHP. Pemerintah dan DPR terus bersikeras untuk mengatur tindak pidana ini, dengan berkali-kali menyatakan “kita saja mengkriminalisasi penghinaan kepala negara sahabat, maka presiden negera sendiri harus dilindungi.”
 
Hal ini jelas merupakan kemunduran bagi demokrasi di Indonesia, dan Perumus RKUHP belum sepenuhnya paham konsep reformasi hukum pidana di Indonesia, atas dasar:

Pertama, Pasal Penghinaan Presiden secara original untuk Kepala Negara bukan Kepala Pemerintahan. Konsep tindak pidana “Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden” dalam Pasal 218-220 RKUHP sama dengan konsep kejahatan yang sempat ada dalam Pasal 134 dan Pasal 137 ayat (1) KUHP yaitu penghinaan presiden. Hal ini mutlak harus dikaitkan dengan sejarah lahirnya Pasal tersebut.
 
Pasal 134 dan 137 ayat (1) KUHP tentang penghinaan presiden adalah warisan kolonial Belanda, yang pada awalnya digunakan untuk memproteksi martabat dari raja atau ratu di Belanda. Dengan menggunakan asas konkordasi atau penggunaan hukum belanda (KUHP Belanda) di Negara koloninya, Belanda menggunakan pasal tersebut untuk memproteksi aparatus dan kebijakan kolonial Belanda di Indonesia. Pasca Indonesia merdeka, melalui UU No 1 Tahun 1946, pemerintah Indonesia mengganti Pasal penghinaan Raja atau Ratu Belanda dengan Presiden atau Wakil presiden Indonesia. 

Hal ini lah yang secara historis sedari awal tidak sepadan, Raja atau Ratu adalah kepala Negara bukan kepala pemerintahan. Sedangkan Presiden dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia adalah kepala negara dan kepala pemerintahan yang dipilih langsung oleh rakyat Indonesia, terhadapnya harus bisa dikritik oleh setiap warga Negara, sehingga tidak dapat dipisahkan perannya sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan. Sebagai contoh, di negara asalnya Belanda, Pasal Penghinaan kepala Negara hanya untuk Ratu dan Raja, sedangkan Perdana Menteri belanda yang merupakan kepala pemerintahan tidak diatur pidananya.
 
Kedua, Membangkan Konstitusi, Pasal Penghinaan Presiden tidak relevan untuk negara demokratis. Mahkamah Konstitusi dalam putusan 013-022/PUU-IV/2006 dengan tegas telah menyatakan bahwa: Indonesia sebagai suatu negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan berkedaulatan rakyat, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagaimana telah ditentukan dalam UUD 1945, oleh karenanya MK menyatakan sudah tidak relevan jika dalam KUHP Indonesia masih memuat Pasal Penghinaan Presiden yang menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum. 

Berdasarkan hal itu maka pembaharuan KUHP warisan kolonial juga seharusnya tidak lagi memuat Pasal-pasal serupa. Indonesia pun sudah meratifikasi Konvenan Hak Sipil dan Politik lewat UU No. 12 tahun 2005, Pada Komentar Umum Konvenan Hak Sipil dan Politik Komisi HAM PBB No 34, poin 38 menyebutkan bahwa pemerintah negara peserta tidak seharusnya melarang kritik terhadap institusi contohnya kepada admisitrasi negara termasuk lewat instrument hukum pidana. Berdasarkan Laporan Khusus PBB 20 April 2010 tentang the promotion and protection of the right to freedom of opinion and expression dinyatakan bahwa Hukum Internasional tentang HAM melindungi individu dan kelompok orang bukan suatu hal yang abstrak atau institusi yang berhak untuk diberikan kritik dan komentar.
 
 
Ketiga, Pemerintah dan DPR tidak pernah punya alasan kuat harus menghidupkan pasal penghinaan presiden. Pemerintah dan DPR selalu bersikeras mengatur penghinaan presiden dengan dalih kepala negara sahabat dilindungi dengan adanya larangan penghinaan kepala negara sahabat. Hal tersebut jelas bukan hal yang relevan dan cenderung mengada-ada untuk menjadikan dasar perumusan pasal penghinaan presiden dalam RKUHP, jika tujuan demikian, maka yang harus dipastikan adalah Presiden Indonesia terlindungi di negara sahabat, bukan malah berusaha memenjarakan pengkritik presiden di negara sendiri, hal tersebut bukan hal yang berkaitan. Di negara demokratis, misalnya Pemerintah Jerman pada 2017 juga menghapus pasal tentang penghinaan kepala negara sahabat. Pemerintah Jerman menilai bahwa pasal ini kuno dan tidak diperlukan. Lagi-lagi negara demokratis tidak pernah menghalang-halangi ekspresi yang sah terhadap institusi yang bisa dikritik.
 


Tags assigned to this article:
hak asasi manusiaPenghinaan PresidenRKUHP

Related Articles

Masa Sidang IV DPR Dimulai 12 Mei 2014, ICJR Minta DPR Tidak Ambil Resiko Dengan RUU KUHAP

Jakarta – DPR akan melanjutkan masa sidang IV pada 12 Mei 2014, ini adalah masa sidang pertama usai Pemilu dilaksanakan

ICJR IJRS dan LeIP Dukung Jaksa Lakukan Penilaian Perkara Berbasis Pemulihan Korban dan Pelaku pada Kasus Pencurian HP di Garut

Kepala Kejaksaan Negeri Garut membebaskan Comara Saeful (41), pelaku pencurian telepon genggam di kantor desa Kabupaten Garut. Comara nekat mencuri

Polres Gowa Harus Hentikan Penyidikan dengan UU ITE terhadap Pasutri Korban Penganiyaan

Penyidik Kepolisian Resor (Polres) Gowa, Sulawesi Selatan, menetapkan pasangan suami istri, NH (26) dan RI (31) sebagai tersangka setelah adanya

Verified by MonsterInsights