Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, ICJR Dorong Pemerintah Atur Ulang Kedudukan Bukti Elektronik

Paska Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 20/PUU-XIV/2016 terkait dengan Pasal tentang Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 44 huruf b UU No 8 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), serta Pasal 26A UU No 29 Tahun 2001 maka dibutuhkan pengaturan kembali tentang kedudukan bukti elektronik dan prosedur perolehannya dalam sistem peradilan pidana Indonesia.

Sebelumnya dalam UU ITE dinyatakan bahwa:

Pasal 5

1)      Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

2)      Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia

Pasal 44

Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah sebagai berikut:

b. alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)

MK telah menyatakan frasa “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” dalam Pasal Pasal-pasal diatas bertentangan dengan UUD 1945 . MK kemudian mengganti frasa tersebut menjadi “Khususnya Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU No 11 Tahun 2008 tentang informasi dan Transaksi Elektronik

Pasal-Pasal tersebut harus di baca menjadi:

Pasal 5

1)      Khususnya Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU No 11 Tahun 2008 tentang informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

2)      Khususnya Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU No 11 Tahun 2008 tentang informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia

Pasal 44

Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah sebagai berikut:

b. alat bukti lain berupa Khususnya Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU No 11 Tahun 2008 tentang informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)

Putusan Mahkamah Konstitusi ini akan mengubah status dari informasi elektronik dan dokumen elektronik dalam penegakan hukum pidana yang akibatnya makaseluruh informasi elektronik/dokumen elektronik yang dapat menjadi bukti harus diperoleh berdasarkan prosedur sesuai pasal 31 ayat (3) UU ITE, di luar itu maka informasi elektronik/dokumen elektronik tidak diperbolehkan sebagai bukti.

Implikasinya adalah, di satu sisi hal ini positif bagi penegakan hukum penyadapan di Indonesia, karena penyadapan dan rekamannya jika dijadikan sebagai bukti haruslah sesuai dengan UU. Namun di sisi lain, kondisi ini justru mempersempit penggunaan informasi elektronik/dokumen elektronik dalam penegakan hukum. Karena MK terlihat menyamakan pengertian intersepsi, penyadapan dengan perekaman (elektonik). Dalam konteks hukum intersepsi dan penyadapan apa yang menjadi pertimbangan MK cukup tepat, namun dalam situasi merekam atau perekaman informasi, oleh individu maka pertimbangan MK jauh melampaui situasi yang diharapan dalam penegakan hukum pidana.

Dalam kasus-kasus pidana ke depan maka seluruh dokumen elektronik/informasi elektronik dalam penegakan hukum pidana tidak dapat digunakan sebagai bukti/petunjuk jika tidak memenuhi syarat yang di putuskan oleh MK. Aparat Penegak Hukum akan mengalami tantangan baru dalam menyikapi puutusan MK.

ICJR melihat  betapa problematiknya putusan MK tersebut jika dikaitkan dengan sebuah pertanyaan sederhana, “apakah rekaman tindak pidana, misalnya pembunuhan, perkosaan, pencurian dengan pemberatan yang diambil oleh pribadi (bukan Apgakum) yang ada dalam sebuah tempat yang privat/bukan publik tidak dapat menjadi bukti/Petunjuk dalam Peradilan?”

Sepertinya, jika melihat putusan MK maka pertanyaan diatas menjadi jelas. Oleh karena itu, dalam menyikapi Putusan MK No 20/PUU-XIV/2016, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengingatkan kembali kepada pemerintah agar pemerintah mulai mempersiapkan Undang-Undang Khusus tentang Penyadapan. Perlunya UU Penyadapan ini telah diperintahkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK No 5/PUU-VIII/2010 tertanggal 24 Februari 2011. Melalui UU Penyadapan, ICJR melihat terbuka peluang untuk memperbaiki kedudukan barang bukti elektronik dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Dalam perkara No 20/PUU-XIV/2016 ini MK kembali mendorong agar pemerintah membuat regulasi khusus tentang penyadapan.

Dalam pandangan ICJR, persoalan yang lebih mendasar adalah ketika UU ITE menempatkan kedudukan bukti elektronik sebagai alat bukti tanpa rumusan yang memadai. Pada saat ini sistem peradilan pidana Indonesia telah membuat pemisahan antara alat bukti dan barang bukti. Ketentuan mengenai alat bukti diatur berdasarkan Pasal 184 KUHAP adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.  Sementara ketentuan barang bukti diatur dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP yaitu (i) benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana; (ii) benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; (iii) benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana; (iv) benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; dan (v) benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan

UU ITE memperluas alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Padahal Bukti elektronik pada dasarnya adalah barang bukti yang pengaturannya tunduk kepada ketentuan Pasal 39 ayat (1) KUHAP dan Pasal 184 ayat (1) huruf c dan yang masih harus di validasi ulang oleh Ahli agar bukti elektronik tersebut dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan sesuai ketentuan Pasal 6 UU ITE.

Tanpa pengaturan ulang kedudukan bukti elektronik terutama dalam penggunaannya dalam sistem peradilan pidana akan menyebabkan kekacauan dalam penegakkan hukum terutama untuk melindungi kepentingan tidak hanya tersangka/terdakwa namun juga untuk melindungi kepentingan korban kejahatan.



Related Articles

Abortion in Indonesia

This edition of ICLU discusses the regulation in Indonesia regarding Abortion in the new Criminal Code, Law No. 1 of

ICJR Kritik Pembentukkan Forum Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif

Berdasarkan Pasal 28 J UUD 1945, seluruh pembatasan hak asasi manusia harus diatur dengan UU Pada 31 Maret 2015, Menteri

Bukan Sekedar Langgar Etik, Seret Pelaku Tragedi Kanjuruhan ke Pengadilan!

ICJR turut berduka sedalam-dalamnya dan bersimpati kepada keluarga atas meninggalnya korban-korban di dalam peristiwa di Stadion Kanjuruhan, 1 Oktober 2022.

Verified by MonsterInsights